Dr. Indrawadi Tamin & Dr. Erman Anom
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta
Universitas Esa Unggul, Jakarta
Abstrak
Jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung
jawab dihasilkan oleh medai massa yang sehat, yaitu media massa yang
bebas dan bertanggung jawab. Pemerintah Aceh dan masyarakat harus
mempunyai pandangan bahawa media massa yang sehat, bebas dan bertanggung
jawab yaitu media massa yang dapat menjalankan peranannya yang ideal.
Kalangan media massa sendiri harus memberikan penyebaran tentang media
massa yang sehat yaitu “Media massa yang sehat secara ideal adalah media
massa yang melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan
konstitusi negara, secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya
dapat dilaksanakannya dengan baik, apabila media massa itu sehat secara
isi pemberitaan dan penyiaran, sehat secara ekonomis. Model jurnalisme
bebas dan bertanggung jawab dapat membangun dan tumbuh subur demokrasi
di Aceh.
Kata kunci: Jurnalisme bebas, bertanggung jawab, demokratisasi Aceh
Pendahuluan
Akhir-akhir ini muncul beberapa
pendapat mengenai jurnalisme yang dipraktekkan di Indonesia khususnya di
Aceh. Ada yang menyodorkan nama “jurnalisme bermakna”. Ada pula yang
ingin meng-introdusir “jurnalisme patriotisme”. Semasa era kepimpinan
Soeharto sering didengar dan dikenal dengan istilah “jurnalisme
pembangunan”.
Di masa reformasi muncul istilah
“jurnalisme selera rendah”, yang mengemas berita gossip, sensasi,
konflik dan seks menjadi berita “yang asal laku dijual” tanpa
memperdulikan etika, kepatutan, dampak negatif dan kode etik
jurnalistik. Ada pula istilah “jurnalisme plintiran”, yang
memutarbalikkan fakta dan mencampuraduk antara fakta dan opini. Ada pula
praktek “jurnalisme talangair”, yang “menuangkan” begitu saja informasi
dari lapangan/sumber berita ke halaman suratkabar tanpa dipilah-pilah
terlebih dahulu melalui kacamata kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara.
Di tengah-tengah kecenderungan
menonjolnya semangat disentralisasi yang menjurus ke arah disintegrasi
bangsa, sebaiknya ada bentuk jurnalisme yang “pas” untuk dipraktekkan
dan diamalkan di Indonesia khusunya di Aceh.
Ada satu gagasan untuk mewacanakan
“jurnalisme berwawasan kebangsaan” atau disingkat “jurnalisme
berwawasan”, suatu bentuk jurnalisme yang mengemas informasi menjadi
berita/tulisan yang mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan
Negara, untuk Aceh harus mengedepankan membangun Aceh yang bermatabat
sesuai dengan semangat MOU Helsinki dan UUPA., jurnalisme harus berperan
untuk mewujudkan sistem masyarakat yang harmonis, demokratis dan
kedaulatan ada ditangan rakyat Aceh.
Pembahasan
Jurnalis dan ahli sejarah Amerika
Serikat Paul Johnson, berdasarkan pengalaman langsung serta
pengamatannya tentang adanya praktek menyimpang dalam melaksanakan
kebebasan pers, menyebutnya “tujuh dosa yang mematikan” (seven deadly sins). Adapun tujuh dosa tersebut sebagai berikut:
Pertama: Distorsi Informasi. Praktek
distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi
informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang
tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah.
Kedua: Dramatisasi
fakta palsu. Dramatisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi
secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek.
Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk
kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan
untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip. Dalam media
audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan
gambar dan pemberian sound-effects yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan.
Ketiga: Mangganggu “privacy”. Pada
umumnya praktek ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan
selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu
skandal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan
telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi,
memaksa atau menjebak. Kesempatan wawancaranya juga diambil pada
saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang diwawancarai.
Keempat: Pembunuhan karakter. Praktek
ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/
perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini
biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan
segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi
baiknya.
Kelima: Eksploitasi seks. Praktek
eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek
tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di
halaman depan surat kabar tulisan yang bermuatan seks.
Keenam: Meracuni benak/pikiran anak
Praktek ini dilakukan di dunia
periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak. Akhir-akhir ini
praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur anak-anak
sebagai sasaran antara dalam memasarkan berbagai macam produk.
Ketujuh: Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power).
Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat
pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan
editorial/ pemberitaan media massa.
Ketujuh “dosa jurnalistik” tersebut
dapat disebut pula dan dapat dikenali sebagai praktek jurnalistik yang
menyimpang, yang kerap terjadi juga di Indonesia, dan sering dilakukan
media massa yang baru terbit.
Praktek Jurnalistik menyimpang?
Praktek-praktek jurnalistik yang
menyimpang dan praktek pemberitaan lain yang menyimpang dari kaidah
jurnalistik yang sangat menonjol di Aceh adalah sebagai berikut:
1. Eksploitasi judul
Cara ini sering dipraktekkan dengan
membuat judul yang tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul
tersebut bernada agitatif, emosional dan tidak jarang “seronok”. Cara
ini ditempuh untuk menarik perhatian pembaca dan sebagai senjata utama
untuk meningkatkan sirkulasi.
2. Sumber berita “konon kabarnya”.
Tidak jarang pula sumber berita “konon
kabarnya” atau “menurut sumber informasi yang tidak mau disebut
namanya” dipraktekkan. Padahal salah satu implikasi dari prinsip
obyektivitas adalah adanya kejelasan identitas dari berbagai sumber
berita yang dirujuk.
3. Dominasi opini elit dan kelompok mayoritas.
Pada umumnya media massa di Aceh masih
cenderung mengutamakan pemuatan opini, pendapat atau pernyataan
kalangan elit dan mayoritas saja, misalnya para pakar, tokoh politik,
kalangan selibritis politik, pejabat pemerintah, tokoh agama atau
pengusaha. Aspirasi atau pendapat kalangan masyarakat bawah atau
minoritas (secara etnis dan agama) kurang mendapatkan perhatian.
4. Penyajian informasi yang tidak investigative.
Pola penyajian informasi sebagiann
besar media massa di Aceh kurang bersifat investigative. Banyak di
antaranya hanya menjual issue tetapi kurang melengkapinya dengan
pemberian makna dan interpretasi yang obyektif, komprehensif dan
mendalam.
Dalam hal ini perlu diperhatikan
kondisi sosiodemografis masyarakat Aceh, khususnya dalam hal tingkat
pendidikan masih banyak masyarakat kita yang belum mampu memilih dan
memilah informasi secara kritis dan obyektif. Mereka mudah sekali
terpengaruh oleh gossip dan rumor.
Fungsi sosial media massa
Bagaimana hubungan antara peranan pers
dengan usaha memelihara keutuhan dan membangun demokrasi di Aceh ini?
Dalam hal ini kita perlu merenungkan apa yang ditulis oleh ahli
komunikasi massa Harold D. Lasswell (1936) mengenai fungsi sosial media
massa.
Menurut Harold D. Laswell (1936) ada empat fungsi sosial media massa:
1. Pengamatan sosial (social surveillance).
Media massa hendaknya menyebarkan
informasi dan interpertasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa
yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan
melakukan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
2. Korelasi sosial (social correlation).
Media massa hendaknya memberikan
informasi dan interpretasi yang menghubungkan satu kelompok sosial
dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan
pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus.
3. Sosialisasi (socialization).
Media massa hendaknya mewariskan
nilai-nilai (yang baik) dari satu generasi ke generasi lainnya atau dari
satu kelompok ke kelompok lainnya.
4. Hiburan (entertainment).
Media massa juga mempunyai tugas untuk memberikan hiburan (yang sehat) dan kesenangan kepada masyarakat.
Dari keempat fungsi sosial media massa
tadi, maka yang paling menonjol dilakukan oleh media massa di Aceh
sekarang adalah fungsi keempat (hiburan), sedangkan ke tiga fungsi
sosial yang lain kurang mendapat perhatian.
Dalam hal ini kita mengambil contoh
pemberitaan mengenai “konflik”, yang akhir-akhir ini sering menempati
halaman depan media cetak dan menjadi berita utama media elektronik dan
media cetak.
Jika ditilik dari fungsi pengamat
sosial media massa, seharusnya berita tentang konflik tadi dikemas
sedemikian rupa, agar masyarakat waspada dan mencegah agar konflik tidak
meluas dan menghancurkan sistem masyarakat.
Sedangkan penyajian opini dari para
elit politik atau kelompok yang bertikai, jika ditilik dari fungsi
korelasi sosial media massa, seharusnya dikorelasikan dengan opini dari
berbagai kalangan masyarakat lainnya baik secara vertikal maupun
horisontal.
Hal ini berarti isi pemberitaan tidak
hanya menyajikan pandangan atau pernyataan pihak-pihak yang bertikai.
Pandangan dan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat baik lapisan
atas, menengah maupun bawah perlu juga disajikan secara eksplisit
termasuk dampak konflik terhadap kehidupan nyata masyarakat.
Tujuannya isi pemberitaan adalah untuk
mencapai konsensus agar konflik dapat segera berakhir, karena disadari
bersama bahwa yang menjadi korban dari konflik tersebut adalah
masyarakat.
Sedangkan mengenai fungsi sosialisasi
dalam kasus konflik tersebut, media massa hendaknya menyebarluaskan
pesan tentang perlunya menjaga integrasi bangsa dalam menghadapi konflik
tadi. Dalam hal ini yang sangat relevan adalah mensosialisasikan
tentang perlunya toleransi dan apresiasi terhadap perbedaan dalam
hubungannya dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), juga
tentang perlunya menegakkan supremasi hukum serta anti segala bentuk
tindakan kekerasan.
Jurnalisme Sehat, Bebas dan bertanggung jawab dalam membangun
demokrasi di Aceh.
Jurnalisme sehat, bebas dan
bertanggung jawab dihasilkan oleh medai massa yang sehat, yaitu media
massa yang bebas dan bertanggung jawab”. Pemerintah dan masyarakat harus
mempunyai pandangan bahawa media massa yang sehat, bebas dan
bertanggung jawab yaitu media massa yang dapat menjalankan peranannya
yang ideal.
Kalangan media massa sendiri harus
memberikan penyebaran tentang media massa yang sehat sebagai berikut:
“Media massa yang sehat secara ideal adalah media massa yang
melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan konstitusi negara,
secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilakanakannya
dengan baik, apabila media massa itu sehat secara isi pemberitaan dan
penyiaran, sehat secara ekonomis. Jika secara ekonomis, materiil media
massa tidak sehat, maka terlihat kecenderungan pada sementara media
massa mempertahankan survivalnya dengan mendasarkan orientasi
perjuangannya kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain
terlihat keadaan yang cenderung mengembangkan erosi idealisme perjuangan
media massa yang hakikatnya harus diabdikan kepada tujuan-tujuan
memasyarakatkan cita-cita nasional, yaitu masyarakat kebangsaan maju,
adil dan makmur berdasarkan ideologi Pancasila.
Sumber hukum Kebebasan media massa
yang bertanggung jawab ini dalam membangun demokrasi di Aceh
adalah harus pada konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan
bahwa “Kemerdekaan mengeluarkan pendapat melalui lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” dan MOU Helsinki, UUPA.
Tidak ada petunjuk atau kriteria lain yang diberikan. Tolak ukur bagi
undang-undang atau peraturan-perundangan yang mengatur tentang
kemerdekaan ataupun kebebasan memberikan pendapat melalui tulisan dengan
kata lain kebebasan pers, sebagai pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945, dengan sendirinya adalah dasar pasal 28 Undang-undang Dasar
itu sendiri, yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi seperti berikut:
“Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permesyuaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berpegang kepada Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tolak ukur “kebebasan media massa”,
ketentuan Undang-Undang Media Massa tentang kebebasan Media Massa
ditelaah. Sedangkan rumusan kebebasan media massa adalah:
1. Kebebasan Media massa sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin.
2. Kebebasan Media massa ini berdasarkan atas tanggung jawab nasional.
Kebebasan media massa itu berasaskan
pada tugas, kewajiban dan fungsi media massa. Kebebasan media massa
berhubungan erat dengan keperluan adanya pertanggung jawaban kepada :
a. Tuhan Yang Maha Esa
b. Kepentingan rakyat dan keselamatan Negara
c . Kelangsungan dan penyelesaian Perjuangan Nasional hingga terwujudnya
tujuan nasional
d. Moral dan tata susila
e. Kepribadian bangsa”.
Kebebasan media massa di Aceh dalam
membangun demokrasi adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan
kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya dan
landasan ini harus sesuai dengan UUPA.
Media massa yang bebas dan bertanggung
jawab harus diucapkan dalam satu nafas. Walaupun begitu, dengan
semangat menyebut media massa bebas dan bertanggung jawab dalam satu
nafas, perlu juga disatukan pengertian tentang kriteria tersebut.
Keadaan menunjukkan penterjemah
pengertian kebebasan yang hakikatnya adalah kebebasan yang bertanggung
jawab masih belum terlihat keserasian dan keseimbangannya. Sementara itu
norma-norma, hak dan kewajiban media massa seperti yang terkandung di
dalam ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengikat serta di dalam
kode etika jurnalistik wartawan Indonesia (berlaku juga di Aceh)., masih
pula serba mengambang dan tidak seimbang. Tegasnya persepsi pemerintah,
masyarakat dan media massa sendiri terhadap norma-norma, hak dan
kewajiban media massa belumlah serasi.
Untuk terjaminnya jurnalisme yang
bebas dan bertanggung jawab dalam membangun Aceh perlu di pedomani UUPA.
Anom (2006) untuk membangun demokrasi masa depan Aceh perwujudnya
haruslah mempunyai arah dan strategi komunikasi politik di Aceh yang
berorientasi kepada pengembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
dengan dimensi pokok yang harus memaknai pengembangan kehidupan
masyarakat. Dimensi pokok yang harus memaknai pengembangan kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa Aceh Indonesia adalah:
• Dimensi Religius. Proses
penguatan dimensi ini dimaksudkan sebagai pemberian peluang bagi
individu/masyarakat untuk mengembangkan dorongan keberagamaan bagi
terwujudnya masyarakat yang etis dan bermoral.
• Dimensi Solidaritas.
Terlalu banyak faktor pemisah, baik geografis, etnis (berbagai suku
bangsa di Aceh), maupun tradisi fanatik suku yang terbangun membutuhkan
suatu instrumen bagi berkembangnya rasa saling peduli, kepekaan, dan mau
tahu. Migrasi secara etnis maupun geografis merupakan program prioritas
dalam menumbuhkan wawasan kebangsaan Aceh Indonesia.
• Dimensi Kritis.
Pengembangan masyarakat sebagai suatu keluarga seharusnya tidak
menghilangkan sikap kritis individu sebagai upaya maksimal dalam
mencapai tujuan bersama. Sikap kritis ini memiliki tiga muatan, yaitu
kepekaan, keberanian, dan ketulusan bagi akselerasi pencapaian tujuan
masyarakat Aceh Indonesia.
• Dimensi Kualitas. Sebagai
masyarakat yang memiliki berbagai suku bangsa dan pengkondisian
kompetitif mengacu pada suatu acuan yaitu kualitas. Dengan acuan ini,
maka keberlindungan dengan kemasan yang menghilangkan kualitas seperti
koneksitas, primodialisme sempit, kolusi, korupsi, nepotisme, fanatik
kesukuan dan lain-lain dapat terkuat dan menjadi sesuatu yang
kedaluarsa.
Kesimpulan
Kunci untuk tidak terjerumus ke dalam
“dosa jurnalistik”, dan untuk tidak melakukan praktek jurnalistik yang
menyimpang untuk dapat membagun demokrasi di Aceh harus dengan
melaksanakan empat fungsi sosial media massa adalah melalui pendidikan
dan pelatihan jurnalistik yang terarah dan terprogram guna meningkatkan
profesionalisme. Di samping itu perlu pula dilakukan usaha sosialisasi
kode etik jurnalistik guna memantapkan penghayatan serta pengamalannya.
Jika kode etik jurnalistik baik Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI maupun
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dipatuhi dan dilaksanakan dengan
benar oleh insan pers Aceh dan Indonesia, wajah kehidupan masyarakat
baik dari sisi politik, ekonomi dan sosial akan menyejukkan dan
membersitkan wajah yang penuh harapan serta optimisme terwujud iklim
demokrasi yang baik di aceh. Dengan berpedoman kepada kode etik
jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia aktivitas jurnalistik di
Acen dan Indonesia pada akhirnya dapat terwujud praktek-praktek
jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab yang berpedoman kepada
demensi religius, solidaritas, kritis dan kualitas.
Daftar Bacaan
Lasswell, Harold, D. 1936. Politics: who get what whey and how. McGrow Hill Boook.Co. London.
Anom Erman.2006. Arah komunikasi politik dalam membanbangun Aceh masa depa. Makalah pada PAPA I UKM Bangi, Malaysia
McQuail, D.T. 1987. Mass communication theory: an introduction. Edisi ke-2. London: Sage Publications.
UU D 1945
UU Pers No. 40/1999
UU Penyiaran No.32/2002
UU PA 2006