Disampaikan oleh : Ir. Akbar Tandjung
Ketua DPR Republik Indonesia
Pada acara Wisuda Sarjana dan Pascasarjana
Universitas Esa Unggul
Jakarta, 10 Mei 2004
Assalamau’alaikum Wr. Wb.
Yth. Saudara Rektor Universitas Indonusa Esa Unggul
Saudara Pembantu Rektor dan Para Dekan Fakultas
Civitas Academika, para Wisudawan dan hadirin yang berbahagia;
Mengawali orasi ilmiah ini perkenankanlah saya mengajak kita sekalian
untuk bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena berkat limpahan rahmat, taufiq dan karunia-Nya kita
semua dapat mengikuti Upacara Wisuda Kampus Emas Indonusa Esa Unggul
dalam keadaan sehat sejahtera, lahir dan bathin.
Pada kesempatan yang sangat membahagiakan ini saya ingin menyatakan
ikut berbahagia dan sekaligus mengucapkan “Selamat” kepada seluruh
wisudawan dan wisudawati atas keberhasilan Saudara menempuh pendidikan
di Universitas Indonusa Esa Unggul ini.
Hendaknya disadari bahwa keberhasilan Saudara sekalian dalam menempuh
studi disamping karena perjuangan dan ketekunan belajar dari Saudara
sendiri, tentu tidak bisa dilepaskan dari bimbingan, bantuan, dan kerja
keras para dosen dan segenap civitas academika Universitas Indonusa Esa
unggul. Dan diatas segalanya adalah karena do’a yang tiada
henti-hentinya dari orang tua dan keluarga. Untuk itu, saya juga ingin
mengucapkan “Selamat” atas keberhasilan ini kepada semuanya, yaitu
segenap civitas academika Universitas Indonusa Esa Unggul dan juga
kepada segenap keluarga para wisudawan.
Sebagaimana diketahui Wisuda Sarjana adalah merupakan hari penting
dan ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa. Sebab, wisuda merupakan
simbol keberhasilan perjuangan panjang dan kerja keras yang menyita
waktu, tenapa, pikiran, dan juga biaya. Dan dengan wisuda ini berarti
Saudara sekalian memulai hidup baru sebagai seorang sarjana. Sudah
barang tentu bukan gelar kesarjanaan itu yang penting, melainkan
bagaimana kita memelihara etos scholaraship, yakni semangat dan sikap
kesarjanaan yang selalu memiliki etos untuk mau belajar secara terus
menerus, dan bagaimana mengabdikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya
kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Civitas Academika dan Hadirin yang berbahagia;
Selanjutnya, selaku Ketua DPR-RI saya menyambut baik
permohonan Rektor Universitas Indonusa Esa Unggul agar saya dapat
menyampaikan orasi ilmiah pada upacara Wisuda Kampus Emas Indonusa Esa
Unggul dalam sidang senat terbuka Universitas ini, dengan tema “Sistem Pendidikan Nasional dan Tantangan Globalisasi”, suatu
masalah yang patut menjadi perhatian kita semua, apalagi jika kita
ingin menjadi bangsa yang maju, sehingga bisa duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Disadari atau tidak, sistem pendidikan nasional yang telah dibangun
selama tiga dasawarsa terakhir ini, ternyata belum mampu sepenuhnya
menjawab kebutuhan dan tantangan nasional serta global dewasa ini.
Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama ini
merupakan fokus pembinaan masih menjadi masalah yang paling menonjol
dalam dunia pendidikan kita. Jumlah angka penduduk usia pendidikan dasar
yang berada di luar sistem pendidikan nasional masih menunjukkan angka
yang sangat besar. Sementara itu, kualitas pendidikan masih jauh dari
yang diharapkan.
Pada sisi lain, tantangan dan perkembangan lingkungan strategis, baik
nasional maupun rnternasional, dalam berbagai bidang kehidupan semakin
berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang
informasi, komunikasi, dan transportasi yang amat cepat, ekskalasi pasar
bebas antar negara dan bangsa yang semakin meningkat, iklim kompetisi
dalam berbagai bidang kehidupan yang semakin ketat, dan tuntutan
demokratisasi serta masalah hak asasi manusia, merupakan tantangan
tersendiri yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia agar kita tetap bisa
hidup terus dan bertahan (survive) dalam percaturan kehidupan global.
Di tingkat lokal, tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih adil,
terbuka dan demokratis semakin santer disuarakan oleh banyak komponen
masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya tuntutan anggota
masyarakat dalam perbaikan tata hubungan antara pusat dan daerah,
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, pembagian tugas, wewenang
dan sumberdaya yang lebih berimbang, serta pemberdayaan masyarakat untuk
ikut serta bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan untuk
mencapai cita-cita nasional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka paradigma sistem pendidikan
nasional yang selama ini menjadi acuan penyelenggaraaan pendidikan di
Indonesia perlu dikaji dan disempurnakan. Bangunan pendidikan selama ini
berpedoman pada konsepsi input-out analysis atau education production function. Paradigma yang mempunyai akar teori pada bidang ekonomi produksi ini berkeyakinan bahwa bila input diperbaiki, maka secara otomatis output akan menjadi baik pula.
Landasan teori yang berhasil dalam dunia industri ini ternyata
tidak selalu dapat dibuktikan dalam dunia pendidikan. Ini dikarenakan
lembaga pendidikan, sekolah atau universitas, tidak bisa disamakan
dengan pabrik dalam dunia industri, sebab input pendidikan bukan input statis melainkan input dinamis yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor proses dan konteks pendidikan. Karena itu, paradigma sistem pendidikan nasional harus mencakup kedua faktor tersebut (proses dan konteks) di samping faktor input dan output pendidikan.
Faktor-faktor proses dan konteks itulah yang malah menentukan
output pendidikan. Karena itu, masalah-masalah semacam kualitas guru
atau pendidik, kurikulum, metode pengajaran yang efektif dan
menyenangkan serta manajemennya menjadi sangat penting dalam proses
pendidikan di sekolah. Sistem pendidikan yang baik adalah justru bila
seorang anak didik yang kurang memiliki kecerdasan dan kemampuan
berketerampilan setelah diproses dalam sistem tersebut menjadi meningkat
dan mampu mengembangkan keterampilan dan kepribadiannya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di masa depan, tentu saja,
perhatian terhadap perbaikan sistem pendidikan nasional ditunjukkan pada
aspek-aspek fundamental, antara lain : tenaga kependidikan, manajemen
pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, serta kurikulum.
Namun sebelum membahas lebih jauh tentang aspek-aspek fundamental di
atas, ada baiknya kita selami dulu kondisi objektif dunia pendidikan
kita berikut data-data kongkretnya. Dengan cara ini, paling tidak, kita
bisa lebih memahami tingkat urgensinya “paradigma baru” sistem
pendidikan nasional tersebut, karena hal itu dianggap sebagai sebuah
desakan realitas, bukan semata-mata wacana segelintir orang.
Saudara Rektor dan Civitas Academika Universitas Indonusa Esa Unggul dan Hadirian yang berbahagia;
Bagaimana kondisi objektif dunia pendidikan kita saat
ini? Sejumlah riset, tulisan, dan laporan jurnalistik menggambarkan,
bahwa perkembangan dunia pendidikan kita memang masih terasa sangat
lamban, bahkan jauh dari yang kita harapkan. Seperti digambarkan oleh Ki
Supriyoko, seorang Wakil Presiden Pan-Pasific Association of Private
Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang, dalam sebuah
tulisannya, “Determinan Kelambanan Pendidikan”, dibandingkan dengan
Malaysia, sistem pendidikan kita cukup jauh tertinggal. Padahal, sekitar
seperempat abad lalu, kinerja pendidikan kita meski belum optimal,
namun jauh lebih baik dibandingkan dengan kinerja pendidikan Malaysia
yang begitu buruk, waktu itu. Itulah sebabnya, waktu itu, pemerintah
Malaysia banyak mengirim peniudanya belajar ke Indonesia yaitu; ke UGM
Yogyakarta, ITB Bandung, UI Jakarta, dan IPB Bogor. Pemerintah Malaysia
juga mendatangkan banyak guru dan dosen dari Indonesia unruk ikut
membangun Malaysia melalui pendidikannya.
Sekarang yang terjadi justru sebaliknya, tidak seorangpun pemuda
Malaysia dikirim belajar ke Indonesia serta tak ada seorang pun guru dan
dosen Indonesia yang dikirim ke Malaysia. Justru kini, pemuda Indonesia
berbondong-bondong, kadang sampai menunggu antrian, belajar di
Malaysia, bahkan belajar di negeri jiran tersebut telah
dianggap sebagai suatu kebanggaan tersendiri bagi sebagian warga
kita.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Lagi-lagi jawabannya, karena kinerja
pendidikan Malaysia lebih baik daripada Indonesia. Hasil studi Asia Week
(2000) tentang kualitas pendidikan tinggi menempatkan kualitas
perguruan tinggi Malaysia lebih baik daripada kualitas perguruan tinggi
Indonesia. Hasil studi lain tentang daya saing ekonomi menempatkan
Malaysia di peringkat ke-29, sedangkan Indoriesia di peringkat ke 49.
Hasil studi PERC (2001) tentang kinerja pendidikan menempatkan Malaysia
di posisi ke-7, sedangkan Indonesia di posisi ke-12. Demikian pula,
hasil studi UNDP (2003) tentang kualitas manuisia menempatkan
Malaysia di ranking ke-58, sedangkan Indonesia di ranking ke-112.
Selain itu, ada laporan lain yang masih menggambarkan titik-runyam
dunia pendidikan kita. Berdasarkan data UNESCO (2001) secara fisik di
Indonesia terdapat 148.964 SD dengan 888.638 ruang kelas; 20.721
SMPdengan 177.594 ruang kelas; dan 12.409 SMA dengan 115.745 ruang
kelas. Kondisi sebagian ruang kelas tersebut amat memprihatinkan. Untuk
SD, misalnya, sebanyak 518.451 atau 58 persen ruang kelas dinyatakan
rusak dan tidak layak dipakai untuk proses belajar mengajar. Jadi, bila
setiap waktu diberitakan di koran dan di telivisi ada gedung SD yang
roboh, hal itu bukan lagi hal yang mengejutkan. Bahkan keadaan di
Madrasah Ibtidaiyah (MI) lebih “mengerikan”. Selanjutnya, pada satuan
SMP, Madrasah Tsnawiyah (MTs), SMA, SMK, dan Madarasah Aliyah (MA)
jumlah bangunan yang rusak juga cukup tinggi meski proporsinya tidak
sebanyak SD dan MI. Keadaan demikian berlaku bagi sekolah swasta maupun
negeri; juga bagi sekolah di luar Pulau Jawa maupun di Pulau Jawa.
Keadaan fisik sekolah yang memprihatinkan itu tidak dilengkapi fasilitas
belajar yang memadai. Ketersediaan buku-buku perpustakaan yang kurang
lengkap, peralatan laboratorium yang tidak komplit, alat peraga yang
tidak memadai, fasilitas olah raga dan kesenian yang jauh dari lengkap,
komputer yang kedaluwarsa, dan sebagainya, merupakan realitas yang
tnenimpa sekolah kita pada umumnya. Sebagai ketua DPR-RI, saya sering
mendapat laporan dan pengaduan dari masyarakat mengenai kondisi
sekolah-sekolah kita, sehingga apa yang digambarkan di atas benar-benar
menjadi kenyataan, dan kerap menyentuh batin saya sendiri, dimana
kondisi dunia pendidikan kita sungguh-sungguh masih menyedihkan.
Kalau demikian halnya, bagaimana siswa dapat mencapai prestasi di
tingkat nasional bila dalam mengikuti pelajaran dililit berbagai
keterbatasan serta dibayang-bayangi bangunan yang sewaktu-waktu bisa
roboh. Bangsa kita yang sudah merdeka lebih dari setengah abad, ternyata
tak mampu mencari solusi atas problematik yang simple serta
kasat mata; dan sudah berlangsung puluhan tahun. Tentu ada yang “salah
urus” di sini. Ini kembali kepada masalah manajemen pendidikan yang
tidak produktif.
Selain menyangkut infrastruktur, kualitas manusia—khususnya guru—
juga merupakan “sisi Iain” yang masih memprihatinkan dunia pendidikan
kita. Dalam dunia pendidikan kita, di SD ada 25.797.810 siswa dengan
gurul.128.475; di SMP ada 7.584.707 siswa dengan 463.864 guru; di SMA
ada 4.872.451 siswa dengan 354.648 guru. Dengan demikian, unruk SD, tiap
guru rata-rata membimbing 23 siswa; di SMP tiap guru rata-rata
membimbing 17 siswa; dan di SMA setiap guru rata-rata membimbing 14
siswa. Dari data tersebut, secara umum jumlah guru di Indonesia
sebenarnya masih cukup memadai. Namun dalam realitasnya, banyak sekolah
masih kekurangan guru. Hal ini, tidak hanya dialami SD di luar Jawa,
tetapi juga di Jawa masih kekurangan banyak guru. Misalnya, satu SD “non
paralel” yang idealnya memiliki tujuh guru kenyataannya hanya memiliki
dua atau tiga guru. Disamping itu, soal kualitas guru juga merupakan
persoalan yang mendasar. Harus diakui bahwa kualitas guru-guru di
sekolah kita masih rendah. Balitbang Depdiknas pernah membuat laporan,
dari seluruh guru SD ternyata hanya sekitar 30 persen yang layak
mengajar di kelas. Guru SMP dan SMA pada dasarnya sama meski dengan
proporsi yang berbeda. Guru MI, MTs, dan MA kondisinya lebih parah lagi.
Bayangkan saja ! Secara akademis, banyak guru tidak berkualifikasi
mengajar, misalnya, lulusan SMA mengajar SD dan MI, lulusan Diploma II
mengajar SMP dan MTs, dan lulusan Diploma II mengajar SMA dan MA.
Kondisi seperti itu diperparah oleh kurang optimalnya motivasi mengajar
sebagian guru. Hal ini salah satunya dikarenakan kesejahteraan mereka
yang rendah. Bila selama ini banyak pendapat menyatakan profesionalisme
guru di Indonesia relatif rendah atau kurang memadai, hal itu merupakan
akibat langsung dari rendahnya kesejahteraan guru itu tadi. Kualitas
guru yang rendah dan profesionalisme yang kurang memadai adalah
kombinasi sempurna dalam menghasilkan lulusan yang kurang cerdas.
Realitas inilah yang terjadi di negara kita selama bertahun-tahun.
Civitas Academika dan Hadirin Yang Berbahagia
Pertanyaannya adalah paradigma pendidikan seperti apa yang
diperlukan di masa depan, terutama agar kita bisa bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di era global ? Sebelum bisa bersaing di era global
tampaknya masalah internal dan mendasar, seperti dijelaskan di atas,
harus dipecahkan terlebih dulu. Bagaimanapun, perkembangan pendidikan
kita berjalan lamban. Masalahnya kini apakah penyebabnya dan bagaimana
mencari solusinya? Penyebab lambannya perkembangan pendidikan sebenarnya
ada pada manajemen pendidikan yang tidak dapat dilaksanakan secara
produktif. Manajemen pendidikan kita bukan saja kaku, tetapi dalam
banyak kasus justru kontra produktif. Manajemen yang demikian pada
akhirnya akan menghasilkan banyak determinan atas kelambanan
perkembangan pendidikan; dua di antaranya yang menonjol adalah
menyangkut soal infrastruktur serta kualitas manusia pelaku pendidikan.
Infrastruktur pendidikan di Indonesia merupakan masalah klasik yang
sudah puluhan tahun diketahui, akan tetapi tidak pernah dapat dicarikan
solusi yang tuntas oleh pemerintah. Ini yang saya maksud dengan masalah
“internal”, yang seharusnya sudah “selesai” bila kita ingin bersaing
dengan negara-negara lain dalam merumuskan sistem pendidikan alternatif
masa depan.
Dalam keadaan seperti itu, guru seharusnya mendapat perhatian yang
serius, terutama kesejahteraannya. Namun, pemerintah rupanya lebih sibuk
mengurusi soal kurikulum. Padahal, hukum pendididikan kita menyatakan
biarlah kurikulumnya jelek asal ada guru yang baik masih ada harapan
untuk mengahasilkan lulusan yang baik. Kalau kesejahteraannya relatif
telah baik, baru kita bisa bicara sosok “guru masa depan” dan
“kurikulum” sebagai suatu variabel dari paradigma baru sistem pendidikan
kita. Pengembangan tenaga kependidikan, termasuk guru di dalamnya,
sebagai unsur dominan dalam proses belajar mengajar diarahkan untuk
meningkatkan kualifikasi, kompetisi, dan profesionalismenya. Karena itu,
semua upaya peningkatan kinerja tenaga kependidikan dilakukan melalui
lembaga-lembaga profesional dan perguruan tinggi yang memenuhi syarat.
Pendekatan pengembangan kualitas tenaga kependidikan yang selama ini
menggunakan supply approach, yaitu permintaan dari pihak birokrasi, diubah dengan dengan demand approach, yaitu
permintaan dari pihak tenaga kependidikan berdasarkan kebutuhan nyata
di sekolah. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu tenaga kerja
kependidikan ini bisa sesuai dengan kondisi di lapangan. Pendekatan
semacam ini sesuai dengan konsep manajemen berbasis sekolah (school based management).
Langkah ini pun masih dianggap belum cukup. Untuk meningkatkan
kualitas guru di tingkat paling nyata di setiap sekolah, maka setiap
sekolah dianjurkan mengadakan in service training. Tindakan ini
dilakukan tidak hanya pada wilayah prinsip-prinsip pendidikan,
melainkan juga pada wilayah teknis-paragmatis, seperti : metode dan
aktivitas pengajaran sehari-hari. Karena itu, setiap guru tidak hanya
bertugas mengajar dalam pengertian memberikan dan mentransformasikan
pengetahuannya kepada para siswa, melainkan juga mereka harus terus
meningkatkan kualitasnya sebagai guru. Ini artinya, tenaga pendidik
dituntut untuk selalu membaca dan belajar memburu ilmu-ilmu pendidikan
yang setiap saat berkembang, untuk selanjutnya diterapkan dalam praktik
mengajar sehari-hari.
Perbaikan manajemen dan sarana-prasarana pendidikan juga perlu
mendapat perhatian. Manajemen pendidikan di sini tampaknya lebih
diarahkan untuk mengoptimalkan peran sekolah dan mengahargai kebutuhan
nyata di setiap sekolah, sehingga pelaksanaan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Inilah konsep yang merupakan konsekwensi otonomi
pendidikan dan sekolah. Karena itu, kualitas pendidikan dan sekolah masa
depan bergantung pada komitmen daerah dan sekolah masing-masing untuk
merumuskan visinya. Karena itu, sekolah masa depan harus memiliki
kemampuan manajemen untuk mengelola berbagai perangkat dan kondisi agar
para siswa mencapai tujuan belajar. Gordon Dryden dan Jeannette Vos,
dalam Revolusi Cara Belajar (Mizan, 2001), mermuskan apa yang menjadi tujuan belajar: Pertama, mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik. Kedua mengembangkan konseptual umum. Ketiga, memngembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah digunakan dalam tindakan.
Adapun soal sarana-prasaran pendidikan juga menjadi masalah yang penting. Sarana ini mesti dikembangkan secara integral berdasarkan
acuan standar kualitas buku. Ruang kelas, ruang praktik, laboratorium,
perpustakaan, gedung admnistrasi, dan buku pelajaan, alat media
pendikdikan—termasuk di dalamnya pengadaan alat-alat komunikasi dan
internet—harus berada dalam sajtu kesatuan yang utuh dan standar. Karena
bagaimanapun, revolusi gabungan internet-komputer-world wide web ini,
kata Dryden dan Vos, “membentuk generasi baru yang lebth dahsyat
dibandingkan revolusi yang dipicu oleh temuan percetakan, radio, mobil
dan televisi.”
Kemudian yang terakhir adalah soal kurikulum. Kurikulum pendidikan
nasional masa depan harus dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar {competency-based curriculum). Dalam
konsep ini, secara sederhana, kurikulum disusun berdasarkan kemampuan
dasar minimal yang harus dikuasai seorang peserta didik setelah yang
bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu, dan
satu satuan pendidikan,. Dengan demikian, seorang peserta anak didik
belum dapat melanjutkan pelajaran ke unit atau satuan pendidikan
berikutnya sebelum yang bersangkutan menguasai pelajaran yang
dipersyaratkan. Kurikulum berdasarkan kompetensi ini diharapkan dapat
menjamin tercapainya standar kualitas tamatan lembaga pendidikan
tertentu, yang selama ini menjadi masalah nasional di bidang pendidikan.
Kesemua hal di atas pada dasarnya akan dapat terpenuhi manakala
-anggaran di bidang pendidikan sudah memadai. Itulah sebabnya,
Konstitusi kita, UUD 1945, mengamanatkan bahwa anggaran di bidang
pendidikan sekurang-kurangnya 20 %. Namun demikian, dalam kenyataannya
amanat tersebut masih jauh dari yang kita harapkan, karena anggaran di
bidang pendidikan baru mencapai sekitar 5 %.
Saudara Rektor dan Hadirin yang Berbahagia;
Itulah sekelumit orasi ilmiah yang bisa saya sampaikan pada
kesempatan yang sangat berbahagia ini. Akhirnya kalau kita dapat menarik
suatu kesimpulan, maka sistem pendidikan nasional yang bisa menjawab
tantangan global adalah sebagai berikut: Pertama, kita hendaknya mengubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar).
Dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana
belajar bersama antara guru atau dosen dan anak didik. Sehingga
lingkungan sekolah menjadi, meminjam istilahnya Ivan IUih, learning society (masyarakat belajar). Menurut paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa), tetapi learner (yang
belajar). Paradigma ini juga secara tidak langsung mengubah sistem atau
pola pendidikan ala—memakai istilah Paulo Freire — banking system yang cenderung monoton dan “menindas” dengan sebuah paradigma pendidikan yang lebih humanis.
Kedua, adalah berkenaan denga metode pengajaran yang tidak lagi mementingkan subject matter dari pada perhatian terhadap siswa sendiri. Sebab, jika metode pengajaran masih terlalu mementingkan subject matter daripada
siswa, akibatnya siswa sering merasa dipaksa untuk menguasai
pengetahuan dan melahap informasi dari para guru, tanpa memberi peluang
kepada para siswa untk melakukan perenungan secara kritis.
Bila kedua paradigma pendidikan di atas bisa kita terapkan dalam
lembaga pendidikan kita di masa depan, maka kualitas anak bangsa yang
cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional dan sosial serta
memiliki rasa responsif dan kritis terhadap masalah-masalah sosial, akan
bisa kita wujudkan. Bagaimanapun, masyarakat belajar (learning society) yang
kini menjadi fenomena global bisa kita realisasikan dalam dunia
pendidikan kita. Saya yakin segenap civitas academika Universitas
Indonusa Esa unggul akan selalu memberikan sumbangan yang besar dalam
turut mengembangkan dunia pendidikan kita sejalan dengan tuntutan
globalisasi.
Demikianlah Orasi Ilmiah ini saya sampaikan, semoga dapat menjadi
sumbangan bagi upaya kita semua dalam mengembangkan dunia pendidikan di
masa-masa yang akan datang.
Billahittaufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Akbar Tandjung
Ketua
|
Tidak ada komentar :
Posting Komentar