Televisi dinilai oleh masyarakat sebagai kotak ajaib yang mampu mempengaruhi sugesti dan alam pikiran masyarakat, hal itu dikarenakan bahwa sebuah televisi selain memberikan informasi secara aktual dan faktual, televisi juga menyajikan acara yang sifatnya menghibur. Televisi telah menjadi bagian dari suatu kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk yang paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat yang menjadi target audiensnya, untuk masuk dalam jebakan melalui iklan televisi hingga pada akhirnya nanti pemirsa rela merogoh kantongnya, hanya untuk mengikuti apa yang ditawarkan melalui rangkaian gambar fantastik yang telah dikonstruksi maknanya. Iklan televisi telah berkolusi dengan industri media televisi serta ideologi yang tertanam, banyak mencerminkan budaya dan faham kapitalisme dan komsumerisme pada setiap pesan yang terselip dalam produk citraanya, akan berdampak pada penciptaan “gaya hidup” di masyrakat yang cenderung konsumtif. Dampak yang ditimbulkan dari pengaruh iklan televisi yang terselip dalam tayangannya itu, merupakan cerminan budaya baru yang lagi ngetred hasil lansiran Global Kapitalism Ideology. Dan kenyataan ini merupakan keadaan yang kontradiktif terhadap budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keluhuran budi pekerti, sifat sabar dan norma kesantunan yang kita banggakan selama negeri ini didirikan. Hegemoni budaya kapitalis yang terlahir merupakan cerminan dari realitas kehidupan baru, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dengan tingginya intensitas itu, telah dikwatirkan banyak pihak akan melindas kebudayaan sebelumnya yang sudah tertanam dengan mapan dalam relung-relung kehidupan masyarakat. Guna mencegah dan meminimalisir dampak negatifnya, maka diperlukan suatu sikap yang arif dalam melihat, mencerna dan memahami hegemoni budaya asing ini dengan cermat, agar tidak terbius dari racun-racun iklan televisi yang tak luput dari penglihatan masyarakat sehari-hari.
Kata Kunci : Iklan, Televisi, Citra, Gaya Hidup, Ideologi, Hegemoni
Pendahuluan
Masih teringat dengan kata-kata Head Line dari sebuah iklan televisi yang diucapkan seseorang aktor dalam selaan pogram acara dengan kata ”Pilih Phanter Pasti Bener”, ”Orang Pintar Pasti Minum Tolak Angin”, ”di Lapangan Nike Adalah Raket keDua Para Juara”, ”Taklukkan tantangnganmu” dan ”Yang Lain Jelas Ketinggalan” serta sederetan kata-kata imajiner yang mengudang perhatian seseorang itu, telah terpampang jelas dalam ilusi gerakan para aktor dari berbagai angle camera dan bidang, garis, warna, ruang, tekstur serta komposisi dalam irama dinamisasinya animasi teks media yang mengadung pesan terselubung dan terselip dalam kemasan produk, telah terpancar dalam layar kaca serta dalam hitungan detik tanpa disadari masuk dalam pikiran kita lewat lensa mata, ketika kita sedang duduk di kursi sofa sambil makan lemper hasil dari kiriman tetangga yang sedang mengadakan selamatan.
Penyajian iklan televisi yang informatif dan persuasif serta dikemas secara menarik dengan menampilikan gambar yang spektakuler hasil perekayasaan gambar dengan sentuhan teknologi audio visual yang mevisualisasikan beragam cerita dibalik beraneka ragamnya kebutuhan hidup, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan teratas, telah mengantar keinginan kita untuk memiliki dari produk yang ditawarkan tersebut. Berbagai macam produk kebutuhan, mulai dari kebutuhan primer demi kelangsungan hidup sehari-hari sampai dengan kebutuhan mewah demi naiknya identitas diri di mata masyarakat, telah membayang-bayangi dan mencuci otak kita, agar kita ikut larut di dalam buaian ceritanya dan berakhir dengan tindakan untuk membeli dari produk yang setiap detik dan menit itu, telah tertangkap oleh mata kita tatkala kita sedang menikmati program acara televisi dengan santainya. Tiap hari dan tiap menit mata kita disuguhi oleh ratusan illustrasi terselip dalam kemasan produk yang diklankan lewat layar kaca dan tanpa sadar kita telah terbius oleh rayuan, bujukan serta tipuan yang menggoda pikiran kita untuk membelinya.
Iklan televisi sebagai salah satu bagain yang tak terpisahkan dari rangkaian tayangan program acara televisi, di mana kemunculannya selalu menghiasi dalam hitungan menit di sela-sela ketika kita sedang menyaksikan Sinetron ”Si Markonah Penyambung Lidah Wanita”, di salah satu sudut ruangan tamu di mana televisi bertengger di depan sofa. Televisi telah menjadi bagian penting dari suatu kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat yang menjadi target audiensnya. Kita tanpa sadar telah diperdaya oleh keberadaan iklan televisi untuk masuk dalam jebakannya, melalui rangkaian gambar yang menarik hingga pada akhirnya nanti kita terprovokasi olehnya dan rela merogoh kantong, hanya untuk mengikuti tawaran melalui citraan gambar yang fantastik itu. Derasnya intensitas Iklan televisi yang dilancarkan melalui media layar kaca itu, telah sedikit banyak mempengaruhi para pemirsa untuk mengikuti jejak dari illustarsi yang telah mengopsesi para pemirsa lewat citraan produknya itu, demi mendapatkan tuntutan ”gaya hidup” yang notabene bagian penting dari kehidupan masyarakat modern. Dewasa ini fenomena gaya hidup masyarakat modern dengan keragaman kompleksitas problema yang ada, telah terserap oleh sebagian besar masyarakat, hal ini dapat terjadi tidak lain dan tidak bukan dari pengaruh tayangan televisi yang dilihatnya. Gejala ini dalam perkembangannya, begitu pesat masuk dalam relung-relung kehidupan dari semua lapisan masyarakat, keberadaannya tumbuh subur di masyarakat perkotaan bahkan hingga kini telah mengepedemi sampai tingkat pedesaan, menyerang siapa saja yang menjadi targetnya, tak peduli anak-anak, kaum remaja bahkan orang tuapun terseret dan telah menjadi mangsa dari proses modernisasi gaya hidup.
Derasnya durasi penayangan iklan televisi dari berbagai macam merek produk, ditengah selipan acara-acara di televisi yang kita tonton setiap hari, telah berdampak pada meningkatnya gaya hidup masyarakat dan bercermin pada citraan iklan televisi. Segala macam apa yang dicitrakan oleh beragam produk konsumtif lewat iklan televisi, akan ditiru oleh masyarakat dan dianggap sebagai alat untuk peningkatan kualitas identitas diri, dalam kehidupan masyarakat modern yang semakin lama cenderung menuju ke arah kehidupan glamour dalam masyarakat kapitalis dan hanyalah melahirkan manusia-manusia konsumtif dan hedonis. Lihat saja cerminan realitas kehidupan remaja dewasa ini, seringnya di kalangan remaja, gonta ganti assesoris mulai dari kemasan handphone, gelang, kalung, cincin ,minuman kaleng, tas, sepatu sampai pakaian ala artis idolanya serta rambut dengan warna warni bagaikan toko cat mowilex berjalan, setiap saat berseliweran di tengah kehidupan kita. Penggambaran tentang penganalogian dampak yang ditimbulkan oleh iklan televisi tidak berhenti di situ saja, para anak-anak sekolah dasarpun ikut bergaya memakai Handphone yang tergolong mahal harganya. Fenomena ini akan mengejutkan lagi ketika sikap para orang tua merasa gatal terbius oleh kegombalan iklan televisi dan ikut-ikutan mempercantik dirinya, ia tak mau kalah dengan anak gadisnya dengan memotong rambutnya gaya seorang artis idolanya menjadi bergelombang bagai rangkaian serutan kayu jati yang melambai-lambai tertiup angin mamiri. Begitu dasyatnya pengaruh iklan televisi terhadap pencitraan gaya hidup seseorang, hingga sampai-sampai orang mau mengeluarkan segala macam kemampuan, meskipun dalam perjanannya diwarnai dengan susah payah untuk meraihnya, demi untuk mengikuti trend gaya hidup yang sudah menjadi bagian penting dalam masyarakat modern. Kenyataannya terkadang apa yang telah mereka keluarkan dengan susah payah, tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan… alias gagal total…emang enak dipermainkan oleh gaya hidup hasil lansiran oleh kaum kapitalisme itu…hheeeiii…!!!
Masih teringat dengan kata-kata Head Line dari sebuah iklan televisi yang diucapkan seseorang aktor dalam selaan pogram acara dengan kata ”Pilih Phanter Pasti Bener”, ”Orang Pintar Pasti Minum Tolak Angin”, ”di Lapangan Nike Adalah Raket keDua Para Juara”, ”Taklukkan tantangnganmu” dan ”Yang Lain Jelas Ketinggalan” serta sederetan kata-kata imajiner yang mengudang perhatian seseorang itu, telah terpampang jelas dalam ilusi gerakan para aktor dari berbagai angle camera dan bidang, garis, warna, ruang, tekstur serta komposisi dalam irama dinamisasinya animasi teks media yang mengadung pesan terselubung dan terselip dalam kemasan produk, telah terpancar dalam layar kaca serta dalam hitungan detik tanpa disadari masuk dalam pikiran kita lewat lensa mata, ketika kita sedang duduk di kursi sofa sambil makan lemper hasil dari kiriman tetangga yang sedang mengadakan selamatan.
Penyajian iklan televisi yang informatif dan persuasif serta dikemas secara menarik dengan menampilikan gambar yang spektakuler hasil perekayasaan gambar dengan sentuhan teknologi audio visual yang mevisualisasikan beragam cerita dibalik beraneka ragamnya kebutuhan hidup, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan teratas, telah mengantar keinginan kita untuk memiliki dari produk yang ditawarkan tersebut. Berbagai macam produk kebutuhan, mulai dari kebutuhan primer demi kelangsungan hidup sehari-hari sampai dengan kebutuhan mewah demi naiknya identitas diri di mata masyarakat, telah membayang-bayangi dan mencuci otak kita, agar kita ikut larut di dalam buaian ceritanya dan berakhir dengan tindakan untuk membeli dari produk yang setiap detik dan menit itu, telah tertangkap oleh mata kita tatkala kita sedang menikmati program acara televisi dengan santainya. Tiap hari dan tiap menit mata kita disuguhi oleh ratusan illustrasi terselip dalam kemasan produk yang diklankan lewat layar kaca dan tanpa sadar kita telah terbius oleh rayuan, bujukan serta tipuan yang menggoda pikiran kita untuk membelinya.
Iklan televisi sebagai salah satu bagain yang tak terpisahkan dari rangkaian tayangan program acara televisi, di mana kemunculannya selalu menghiasi dalam hitungan menit di sela-sela ketika kita sedang menyaksikan Sinetron ”Si Markonah Penyambung Lidah Wanita”, di salah satu sudut ruangan tamu di mana televisi bertengger di depan sofa. Televisi telah menjadi bagian penting dari suatu kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat yang menjadi target audiensnya. Kita tanpa sadar telah diperdaya oleh keberadaan iklan televisi untuk masuk dalam jebakannya, melalui rangkaian gambar yang menarik hingga pada akhirnya nanti kita terprovokasi olehnya dan rela merogoh kantong, hanya untuk mengikuti tawaran melalui citraan gambar yang fantastik itu. Derasnya intensitas Iklan televisi yang dilancarkan melalui media layar kaca itu, telah sedikit banyak mempengaruhi para pemirsa untuk mengikuti jejak dari illustarsi yang telah mengopsesi para pemirsa lewat citraan produknya itu, demi mendapatkan tuntutan ”gaya hidup” yang notabene bagian penting dari kehidupan masyarakat modern. Dewasa ini fenomena gaya hidup masyarakat modern dengan keragaman kompleksitas problema yang ada, telah terserap oleh sebagian besar masyarakat, hal ini dapat terjadi tidak lain dan tidak bukan dari pengaruh tayangan televisi yang dilihatnya. Gejala ini dalam perkembangannya, begitu pesat masuk dalam relung-relung kehidupan dari semua lapisan masyarakat, keberadaannya tumbuh subur di masyarakat perkotaan bahkan hingga kini telah mengepedemi sampai tingkat pedesaan, menyerang siapa saja yang menjadi targetnya, tak peduli anak-anak, kaum remaja bahkan orang tuapun terseret dan telah menjadi mangsa dari proses modernisasi gaya hidup.
Derasnya durasi penayangan iklan televisi dari berbagai macam merek produk, ditengah selipan acara-acara di televisi yang kita tonton setiap hari, telah berdampak pada meningkatnya gaya hidup masyarakat dan bercermin pada citraan iklan televisi. Segala macam apa yang dicitrakan oleh beragam produk konsumtif lewat iklan televisi, akan ditiru oleh masyarakat dan dianggap sebagai alat untuk peningkatan kualitas identitas diri, dalam kehidupan masyarakat modern yang semakin lama cenderung menuju ke arah kehidupan glamour dalam masyarakat kapitalis dan hanyalah melahirkan manusia-manusia konsumtif dan hedonis. Lihat saja cerminan realitas kehidupan remaja dewasa ini, seringnya di kalangan remaja, gonta ganti assesoris mulai dari kemasan handphone, gelang, kalung, cincin ,minuman kaleng, tas, sepatu sampai pakaian ala artis idolanya serta rambut dengan warna warni bagaikan toko cat mowilex berjalan, setiap saat berseliweran di tengah kehidupan kita. Penggambaran tentang penganalogian dampak yang ditimbulkan oleh iklan televisi tidak berhenti di situ saja, para anak-anak sekolah dasarpun ikut bergaya memakai Handphone yang tergolong mahal harganya. Fenomena ini akan mengejutkan lagi ketika sikap para orang tua merasa gatal terbius oleh kegombalan iklan televisi dan ikut-ikutan mempercantik dirinya, ia tak mau kalah dengan anak gadisnya dengan memotong rambutnya gaya seorang artis idolanya menjadi bergelombang bagai rangkaian serutan kayu jati yang melambai-lambai tertiup angin mamiri. Begitu dasyatnya pengaruh iklan televisi terhadap pencitraan gaya hidup seseorang, hingga sampai-sampai orang mau mengeluarkan segala macam kemampuan, meskipun dalam perjanannya diwarnai dengan susah payah untuk meraihnya, demi untuk mengikuti trend gaya hidup yang sudah menjadi bagian penting dalam masyarakat modern. Kenyataannya terkadang apa yang telah mereka keluarkan dengan susah payah, tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan… alias gagal total…emang enak dipermainkan oleh gaya hidup hasil lansiran oleh kaum kapitalisme itu…hheeeiii…!!!
Pengaruh Iklan Televisi bisa membentuk
gaya hidup masyarakat modern, hasil dari pengaplikasian faham
kapitalisme dalam industri budaya khususnya media massa, hingga terlahir
generasi penerus berjiwa konsumtif dan hedonis.
1. Penerapan Simbiosis Mutualisme dalam Penanaman Ideologi
Industri Media Televisi dalam melangsungkan kehidupan penyiarannya, perlu adanya “Interpendensi Media dengan Para Pemasang Iklan” sebagai penyuplai dana atas hidupnya program tayangan sebuah perusahaan penyiaran. Tindakan kompromi antara industri media televisi dengan para perusahaan pemasang iklan perlu dilakukan, guna kelancaran usaha atas hidupnya kedua perusahaan tersebut, yang saling berpengaruh perannya dalam menyajikan informasi dan hiburan pada masyarakat. Dari kerjasama tersebut maka terjadi suatu hubungan simbiosis mutualisme, di mana kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan dari bidang usaha yang dijalankannya. Bagi industri media khususnya televisi, tentunya akan mendatangkan omset yang tinggi hasil pemberian kompensasi para pemasang iklan, lewat sisipan iklan dari produk acaranya. Demikian juga bagi para pemasang iklan, akan mendapat keuntungan dalam rangka promosi produk yang mereka iklankan itu telah ditonton oleh masyarakat, dimana dampak yang ditimbulkan bisa mempengaruhi para pemirsa televisi yang jumlahnya jutaan pasang mata terfokus dalam pesan dibalik produknya. Penayangan iklan semakin efektif hasilnya terutama pada jam-jam sibuk (primer time) yang segmentasi pemirsanya sangat lengkap dalam kategori usia maupun status sosialnya. Hal inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang Determinisme “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa” (Graeme Barton, 2008). Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa media selaku pemegang kekuasaan penyebaran informasi secara cepat dan didukung dengan penyuplai dana lewat kompensasi sarana penyebaran jaringan pemasaran suatu produk, dimana targetnya hampir menunjukkan tanda-tanda kesamaan tujuan.
Dalam perspektif komunikasi, iklan televisi merupakan rangkaian pesan misterius yang terselubung dalam suatu alur cerita dengan pelansirannya lewat pemancaran gelombang elektromanetik kepada khalayak, untuk memberikan informasi suatu produk atau menawarkan suatu produk dan jasa lewat biasan iklan televisi. Dalam proses penyebarluasan informasi yang tercermin dalam iklan televisi, diperlukan suatu strategi atau cara yang jitu dalam melumpuhkan pikiran para pemirsa, agar mau membeli produk yang ditawarkan. Bagaimana sebuah iklan televisi dirancang dengan berbagai macam perekayasaan konsep dan eksekusinya, hingga dapat merangsang dan mempengaruhi alam pikiran para pemirsanya. Diperlukan pendekatan secara persuasif dalam menciptakan “pencitraan sebuah produk” yang akan ditawarkan, hingga pada akhirnya masyarakat begitu percaya dan yakin untuk mau mengikuti jejak rangkaian cerita yang divisualisasikan lewat tayangan televisi tersebut. Pencitraan suatu produk dalam iklan televisi dapat diciptakan melalui cara persuasif dan bukan dengan cara kekerasan, tindakan ini merupakan suatu cara efektif dalam penerapan ideologi pada suatu produk dalam tingkatan terikatnya posisi dengan pencitraan terhadap produknya. Pada titik tertentu atas pelansirannya itu, dilakukan secara terus menerus, hingga nantinya produk tersebut akan dapat menciptakan suatu pencitraan atas kelas-kelas dominan dalam lingkungan masyarakat, hal itu disebabkan sebagai dampak dari pemakaian produk yang telah dicitrakan itu. “Ideologi merupakan suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh seseorang atau kelompok orang tertentu tanpa dirinya bersikap kritis lagi dan menerima segala pemikiran tersebut sebagai sesuatu hal yang seolah-olah sudah semestinya dilakukan…” (Iwan Gunawan, 2010). Pemikiran ini mengurai bahwa apa yang dicitrakan oleh tayangan iklan, khususnya iklan televisi telah diyakini dan dipakai produknya oleh sebagian besar masyarakat dalam mengangkat eksisitensi dan simbol pencitraannya dari para pemakai produk tersebut.
Bagaimana suatu realitas dibangun melalui tayangan iklan televisi hingga mampu hidup dalam atmosfir pemikiran pemirsa, hal itu membuktikan betapa dasyatnya pengaruh iklan televisi dalam persepsi pemirsa, sampai-sampai pemirsa begitu yakin dibuatnya tanpa harus melakukan perlawanan. Dengan kreatifitas tinggi dalam mevisualisasikannya yang dikemas secara menajubkan dalam alur dramatiknya sebuah cerita, sebuah iklan telah mampu menghadirkan suatu realitas dunia imajinasi semata, menjadi suatu realitas baru dan terkesan seoalah-olah terlihat nyata, berkat pencitraan dari sebuah produk disertai terselipnya ideologi media yang ditanamkan lewat sebuah iklan. “Dibutuhkan cara dan tehnik untuk menyebarkan dan mempromosikan ideologi. Ideologi bisa disebarkan dengan paksaan dan kekuasaan…” (Ellul. 1973). Kenyataan ini menjelaskan bahwa Ideologi yang disebarluaskan lewat tayangan televisi, adalah melalui sistem kekuasaan. Dengan kekuasan media yang ada dalam genggamannya, maka ideologi apapun yang ditanam lewat tayangan tersebut dapat terserap dengan sendirinya oleh berbagai kalangan masyarakat, dari tingkatan usia maupun status sosialnya bersamaan dengan penangkapan pesan yang dikomunikasikan.
Bagi Industri media televisi yang menjadi mitra kerja para pemasanag iklan, tentunya akan menciptakan suatu perangkap acara yang di kemas sedemikian rupa hingga menarik perhatian publik, lewat beragam tayangan program acara dengan pengkonstruksian makna dan nilai serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas. Derasnya durasi iklan televisi yang dilancarkan oleh industri media televisi itu, akan berdampak pada perilku pemirsa hingga nantinya akan kecanduan dan gandrung serta tumbuhnya sikap tergila-gilanya dari pencitraan yang disuguhkan oleh industri media televisi secara gratis itu. Hal inilah yang dikemukakan oleh Kaum Marxis “… nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa…”. (John Storey, 2003)
Berbagai macam gaya hidup telah lahir di republik ini, dengan pengkonstruksian sedemikian rupa melalui berbagai macam program acara yang mencerminkan suatu kehidupan palsu, hingga pada akhirnya dapat menimbulkan kebohongan publik dan tanpa sadar, bahwa kita seolah-olah telah menjadi bagian dari realitas kehidupan yang sebenarnya. Suatu penanaman konsep ideologi ke dalam format acara melalui teks-teks media dan makna-makna yang ada di dalamnya serta praktik-praktik budaya telah melahirkan “kesadaran palsu” di dalam persepsi pemirsa.
Industri Media Televisi dalam melangsungkan kehidupan penyiarannya, perlu adanya “Interpendensi Media dengan Para Pemasang Iklan” sebagai penyuplai dana atas hidupnya program tayangan sebuah perusahaan penyiaran. Tindakan kompromi antara industri media televisi dengan para perusahaan pemasang iklan perlu dilakukan, guna kelancaran usaha atas hidupnya kedua perusahaan tersebut, yang saling berpengaruh perannya dalam menyajikan informasi dan hiburan pada masyarakat. Dari kerjasama tersebut maka terjadi suatu hubungan simbiosis mutualisme, di mana kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan dari bidang usaha yang dijalankannya. Bagi industri media khususnya televisi, tentunya akan mendatangkan omset yang tinggi hasil pemberian kompensasi para pemasang iklan, lewat sisipan iklan dari produk acaranya. Demikian juga bagi para pemasang iklan, akan mendapat keuntungan dalam rangka promosi produk yang mereka iklankan itu telah ditonton oleh masyarakat, dimana dampak yang ditimbulkan bisa mempengaruhi para pemirsa televisi yang jumlahnya jutaan pasang mata terfokus dalam pesan dibalik produknya. Penayangan iklan semakin efektif hasilnya terutama pada jam-jam sibuk (primer time) yang segmentasi pemirsanya sangat lengkap dalam kategori usia maupun status sosialnya. Hal inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang Determinisme “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa” (Graeme Barton, 2008). Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa media selaku pemegang kekuasaan penyebaran informasi secara cepat dan didukung dengan penyuplai dana lewat kompensasi sarana penyebaran jaringan pemasaran suatu produk, dimana targetnya hampir menunjukkan tanda-tanda kesamaan tujuan.
Dalam perspektif komunikasi, iklan televisi merupakan rangkaian pesan misterius yang terselubung dalam suatu alur cerita dengan pelansirannya lewat pemancaran gelombang elektromanetik kepada khalayak, untuk memberikan informasi suatu produk atau menawarkan suatu produk dan jasa lewat biasan iklan televisi. Dalam proses penyebarluasan informasi yang tercermin dalam iklan televisi, diperlukan suatu strategi atau cara yang jitu dalam melumpuhkan pikiran para pemirsa, agar mau membeli produk yang ditawarkan. Bagaimana sebuah iklan televisi dirancang dengan berbagai macam perekayasaan konsep dan eksekusinya, hingga dapat merangsang dan mempengaruhi alam pikiran para pemirsanya. Diperlukan pendekatan secara persuasif dalam menciptakan “pencitraan sebuah produk” yang akan ditawarkan, hingga pada akhirnya masyarakat begitu percaya dan yakin untuk mau mengikuti jejak rangkaian cerita yang divisualisasikan lewat tayangan televisi tersebut. Pencitraan suatu produk dalam iklan televisi dapat diciptakan melalui cara persuasif dan bukan dengan cara kekerasan, tindakan ini merupakan suatu cara efektif dalam penerapan ideologi pada suatu produk dalam tingkatan terikatnya posisi dengan pencitraan terhadap produknya. Pada titik tertentu atas pelansirannya itu, dilakukan secara terus menerus, hingga nantinya produk tersebut akan dapat menciptakan suatu pencitraan atas kelas-kelas dominan dalam lingkungan masyarakat, hal itu disebabkan sebagai dampak dari pemakaian produk yang telah dicitrakan itu. “Ideologi merupakan suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh seseorang atau kelompok orang tertentu tanpa dirinya bersikap kritis lagi dan menerima segala pemikiran tersebut sebagai sesuatu hal yang seolah-olah sudah semestinya dilakukan…” (Iwan Gunawan, 2010). Pemikiran ini mengurai bahwa apa yang dicitrakan oleh tayangan iklan, khususnya iklan televisi telah diyakini dan dipakai produknya oleh sebagian besar masyarakat dalam mengangkat eksisitensi dan simbol pencitraannya dari para pemakai produk tersebut.
Bagaimana suatu realitas dibangun melalui tayangan iklan televisi hingga mampu hidup dalam atmosfir pemikiran pemirsa, hal itu membuktikan betapa dasyatnya pengaruh iklan televisi dalam persepsi pemirsa, sampai-sampai pemirsa begitu yakin dibuatnya tanpa harus melakukan perlawanan. Dengan kreatifitas tinggi dalam mevisualisasikannya yang dikemas secara menajubkan dalam alur dramatiknya sebuah cerita, sebuah iklan telah mampu menghadirkan suatu realitas dunia imajinasi semata, menjadi suatu realitas baru dan terkesan seoalah-olah terlihat nyata, berkat pencitraan dari sebuah produk disertai terselipnya ideologi media yang ditanamkan lewat sebuah iklan. “Dibutuhkan cara dan tehnik untuk menyebarkan dan mempromosikan ideologi. Ideologi bisa disebarkan dengan paksaan dan kekuasaan…” (Ellul. 1973). Kenyataan ini menjelaskan bahwa Ideologi yang disebarluaskan lewat tayangan televisi, adalah melalui sistem kekuasaan. Dengan kekuasan media yang ada dalam genggamannya, maka ideologi apapun yang ditanam lewat tayangan tersebut dapat terserap dengan sendirinya oleh berbagai kalangan masyarakat, dari tingkatan usia maupun status sosialnya bersamaan dengan penangkapan pesan yang dikomunikasikan.
Bagi Industri media televisi yang menjadi mitra kerja para pemasanag iklan, tentunya akan menciptakan suatu perangkap acara yang di kemas sedemikian rupa hingga menarik perhatian publik, lewat beragam tayangan program acara dengan pengkonstruksian makna dan nilai serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas. Derasnya durasi iklan televisi yang dilancarkan oleh industri media televisi itu, akan berdampak pada perilku pemirsa hingga nantinya akan kecanduan dan gandrung serta tumbuhnya sikap tergila-gilanya dari pencitraan yang disuguhkan oleh industri media televisi secara gratis itu. Hal inilah yang dikemukakan oleh Kaum Marxis “… nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa…”. (John Storey, 2003)
Berbagai macam gaya hidup telah lahir di republik ini, dengan pengkonstruksian sedemikian rupa melalui berbagai macam program acara yang mencerminkan suatu kehidupan palsu, hingga pada akhirnya dapat menimbulkan kebohongan publik dan tanpa sadar, bahwa kita seolah-olah telah menjadi bagian dari realitas kehidupan yang sebenarnya. Suatu penanaman konsep ideologi ke dalam format acara melalui teks-teks media dan makna-makna yang ada di dalamnya serta praktik-praktik budaya telah melahirkan “kesadaran palsu” di dalam persepsi pemirsa.
Sebuah pencitraan yang dilansir oleh
media televisi dan iklannya akan berpengaruh pada target audiens yang
sama, hingga mereka begitu yakin dan percaya dengan pencitraan dari
produk yang diiklankan tersebut tanpa ada perlawanan.
2. Televisi dan Iklan, Menyatunya Dua kepentingan
Sejak terjadinya revolusi industri yang dinilai sebagai awal dari peradaban penerapan teknologi dalam kehidupan masayarakat, dianggap turut melatar belakangi atas lahirnya perilaku dan budaya industri modern. Berbagai macam penemuan teknologi dan terus mengalami perkembangan secara segnifikan dari tahun ke tahun, menyebabkan perkembangan industri mengalami peningkatan, hal tersebut berpengaruh pada meroketnya tingkat peradaban manusia di muka bumi ini. Dari perkembangan teknologi tersebut, ternyata perkembngan teknologi informasi dan multimedia mengalami peningkatan yang segnifikan. Media audio visual dalam bentuk televisi, video dan film, yang paling banyak perkembangannya dibandingkan dengan media lainnya. Sehingga eksistensinya dianggap media yang paling banyak direspon aktifitasnya oleh masyarakat, hingga keberadaanya tak terlepas dari aktifitas masyarakat.
Media televisi dianggap sebagai senjata yang ampuh dalam mempengaruhi alam pikiran dan pradigma masyarakat tentang sesuatu hal, lewat beragam isi program acaranya, televisi telah mampuh menggiring persepsi pemirsa dan meyakinkanya tentang program acara yang disiarka itu, hingga “gaya hidup” masyarakatpun dapat tercipta sebagai cerminan atas pengruh dari tayangannya. Beraneka ragam tayangan yang telah direkonstruksi sedemikian rupa, hingga tanpa terasa apa yang dikonstruksikan oleh media televisi itu, seolah-olah menjadi suatu kenyataan yang sebenarnya. Begitu dasyatnya angin kencang yang ditiupkan oleh media televisi dengan representasi program acaranya yang notabene sebagai ikon dari kebutuhan hidup masyarakat modern itu, telah menerjang siapa saja yang ada didepannnya entah anak-anak, remaja maupun orang tua.
Televisi sebagai sarana informasi suatu produk konsumen telah menjadi trend center masyarakat, hingga dapat menimbulkan permainan pasar dalam perekonomian kapitalis, yang dapat menggiring pemirsa kearah kehidupan konsumtif hingga melahirkan masyarakat hedonis. Kenyataan ini, telah dimanfaatkan oleh para pemegang kekusaan dalam permainan pasar dengan melibatkan orang terkenal, misalnya artis populer serta peran media sebagai penunjang sarananya, dimana dalam praktiknya divisualisasikan secara gencar hingga masyarakat bertekuk lutut untuk mau mengikuti apa yang dikomunikasikan itu. Realitas ini secara ekonomi akan menguntungkan bagi kelompok-kelompok dominan yang berkuasa dalam mengembangkan sayap perusahaannya. Keberadaan artis hanyalah sebagai komoditas layaknya barang dagangan yang bisa diperas dan dipermainkan seenaknya, selama ada kompensasi yang telah disepakati bersama. Tidak jarang keduanya timbul perseteruan hingga menimbulkan suatu polemik berkepanjangan di masyarakat. “Lewat media massa televisi pula seseorang menjadi tenar dan melambung namanya sebagai public figure di kalangan masyarakat hingga bisa menjadi idola bagi seseorang yang mengakui eksistensinya, namun media televisi pula yang sanggup menumbangkan nama seseorang hingga hancur berantakan kehidupannya” (AB. Susanto,2001).
Para pemasang iklan di media televisi telah menjalin hubungan yang erat dengan industri televisi, karena keberadaan media ini dianggap sebagai suatu sarana yang ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan provokatif terhadap target audiens sebagai mangsanya. Peran iklan televisilah yang membuat siaran televisi tetap hidup dan bisa bertahan dalam melangsungkan program penyiarannya. Televisi dan iklan dapat diibaratkan burung jalak dengan badak yang saling menguntungkan, dimana burung jalak mendapat makanan dari kutu-kutu yang menempell di tubuh badak, sementara si badak tidak perlu repot membersihkan badanya, mungkin binatang lain tentunya akan berguling-guling dalam membersihkan kutu-kutunya. Demikian juga dengan kaiatan antara televisi dan iklan, di mana keduanya merupakan menyatunya dua kepentingan dari segmentasi pasar yang hampir sama. Hal ini dapat diartikan bahwa iklan memerlukan media sebagai sarana penyampaian produk yang akan diinformasikan kepada masyarakat luas, sementara televisi membutuhkan iklan guna pembiayaan operasional dan pengembangan program siarannya.
Dalam sudut pandang komunikasi, “iklan merupakan pesan yang disebar luaskan kepada khalayak untuk memberikan sesuatu atau menawarkan atau jasa melalui media” (Onong, 1989). Penciptaan iklan televisi yang membawa pesan-pesan suatu produk, dan dalam pengemasannya memakai cara-cara pendekatan secara persuasif dalam merayu, membujuk dan meyakinkan para konsumennya untuk memakai dari produk yang diiklankan. Cara-cara ini merupakan suatu strategi dalam mempengaruhi dan melumpuhkan pikiran konsumennya, bukan dengan cara kekerasan, melainkan melalui pendekatan dengan penanaman ideologinya yang terselip dalam “pencitraan produk”, hingga konsumen bertekuk lutut untuk mau mengikuti ajakannya tanpa harus mengkritisinya. Inilah yang dikatakan oleh Jacques Ellul tentang propaganda, “suatu cara untuk mencapai kekuasaan dengan cara memanipulasi secara psikologis suatu kelompok atau massa, atau dengan cara menggunakan kekuatan ini dengan dukungan dari massa” (Marlin, 2002: 19).
Tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh ideologi iklan, lewat tayangan televisi yang dikemas dan dikonstruksi sedemikian rupa serta penyampaiannya begitu menarik dan atraktif, hingga masyarakat langsung percaya dan meyakini tentang keistimewaan dari produk yang ditawarkan. Dalam perancangannya, iklan televisi tak luput dari siklus trend yang berkembanmg dimasyarakat, para kreator iklan sering menangkap isu yang bergaung dan menjadi polemik di masyarakat, untuk kemudian diangkat menjadi suatu konsep dalam perancangannya. Iklan televisi dewasa ini telah menjadi produk komuditas baru yang mampu memenuhi keinginan para pemirsa dan tanpa disadari apa yang tervisualisasi di hadapan mata, adalah hasil penciptaan suatu realitas baru yang telah dikonstruksi ke dalam dunia maya itu, telah mengantarkan alam persepsi pemirsa mengisyaratkan bahwa realitas imajinatif tersebut seolah-olah apa yang mereka lihat adalah cerminan keaadaan yang sebenarnya. Persepsi inilah yang muncul dalam pikiran pemirsa, hingga masyarakat selaku target iklan, mau memakai produknya dan menghegemoni dalam kehidupan masyarakat luas melalui praktik-praktik ekonomi, sosial dan budaya kapitalisme yang mencerminkan budaya baru dalam lingkugan masyarakat kapitalis.
Sejak terjadinya revolusi industri yang dinilai sebagai awal dari peradaban penerapan teknologi dalam kehidupan masayarakat, dianggap turut melatar belakangi atas lahirnya perilaku dan budaya industri modern. Berbagai macam penemuan teknologi dan terus mengalami perkembangan secara segnifikan dari tahun ke tahun, menyebabkan perkembangan industri mengalami peningkatan, hal tersebut berpengaruh pada meroketnya tingkat peradaban manusia di muka bumi ini. Dari perkembangan teknologi tersebut, ternyata perkembngan teknologi informasi dan multimedia mengalami peningkatan yang segnifikan. Media audio visual dalam bentuk televisi, video dan film, yang paling banyak perkembangannya dibandingkan dengan media lainnya. Sehingga eksistensinya dianggap media yang paling banyak direspon aktifitasnya oleh masyarakat, hingga keberadaanya tak terlepas dari aktifitas masyarakat.
Media televisi dianggap sebagai senjata yang ampuh dalam mempengaruhi alam pikiran dan pradigma masyarakat tentang sesuatu hal, lewat beragam isi program acaranya, televisi telah mampuh menggiring persepsi pemirsa dan meyakinkanya tentang program acara yang disiarka itu, hingga “gaya hidup” masyarakatpun dapat tercipta sebagai cerminan atas pengruh dari tayangannya. Beraneka ragam tayangan yang telah direkonstruksi sedemikian rupa, hingga tanpa terasa apa yang dikonstruksikan oleh media televisi itu, seolah-olah menjadi suatu kenyataan yang sebenarnya. Begitu dasyatnya angin kencang yang ditiupkan oleh media televisi dengan representasi program acaranya yang notabene sebagai ikon dari kebutuhan hidup masyarakat modern itu, telah menerjang siapa saja yang ada didepannnya entah anak-anak, remaja maupun orang tua.
Televisi sebagai sarana informasi suatu produk konsumen telah menjadi trend center masyarakat, hingga dapat menimbulkan permainan pasar dalam perekonomian kapitalis, yang dapat menggiring pemirsa kearah kehidupan konsumtif hingga melahirkan masyarakat hedonis. Kenyataan ini, telah dimanfaatkan oleh para pemegang kekusaan dalam permainan pasar dengan melibatkan orang terkenal, misalnya artis populer serta peran media sebagai penunjang sarananya, dimana dalam praktiknya divisualisasikan secara gencar hingga masyarakat bertekuk lutut untuk mau mengikuti apa yang dikomunikasikan itu. Realitas ini secara ekonomi akan menguntungkan bagi kelompok-kelompok dominan yang berkuasa dalam mengembangkan sayap perusahaannya. Keberadaan artis hanyalah sebagai komoditas layaknya barang dagangan yang bisa diperas dan dipermainkan seenaknya, selama ada kompensasi yang telah disepakati bersama. Tidak jarang keduanya timbul perseteruan hingga menimbulkan suatu polemik berkepanjangan di masyarakat. “Lewat media massa televisi pula seseorang menjadi tenar dan melambung namanya sebagai public figure di kalangan masyarakat hingga bisa menjadi idola bagi seseorang yang mengakui eksistensinya, namun media televisi pula yang sanggup menumbangkan nama seseorang hingga hancur berantakan kehidupannya” (AB. Susanto,2001).
Para pemasang iklan di media televisi telah menjalin hubungan yang erat dengan industri televisi, karena keberadaan media ini dianggap sebagai suatu sarana yang ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan provokatif terhadap target audiens sebagai mangsanya. Peran iklan televisilah yang membuat siaran televisi tetap hidup dan bisa bertahan dalam melangsungkan program penyiarannya. Televisi dan iklan dapat diibaratkan burung jalak dengan badak yang saling menguntungkan, dimana burung jalak mendapat makanan dari kutu-kutu yang menempell di tubuh badak, sementara si badak tidak perlu repot membersihkan badanya, mungkin binatang lain tentunya akan berguling-guling dalam membersihkan kutu-kutunya. Demikian juga dengan kaiatan antara televisi dan iklan, di mana keduanya merupakan menyatunya dua kepentingan dari segmentasi pasar yang hampir sama. Hal ini dapat diartikan bahwa iklan memerlukan media sebagai sarana penyampaian produk yang akan diinformasikan kepada masyarakat luas, sementara televisi membutuhkan iklan guna pembiayaan operasional dan pengembangan program siarannya.
Dalam sudut pandang komunikasi, “iklan merupakan pesan yang disebar luaskan kepada khalayak untuk memberikan sesuatu atau menawarkan atau jasa melalui media” (Onong, 1989). Penciptaan iklan televisi yang membawa pesan-pesan suatu produk, dan dalam pengemasannya memakai cara-cara pendekatan secara persuasif dalam merayu, membujuk dan meyakinkan para konsumennya untuk memakai dari produk yang diiklankan. Cara-cara ini merupakan suatu strategi dalam mempengaruhi dan melumpuhkan pikiran konsumennya, bukan dengan cara kekerasan, melainkan melalui pendekatan dengan penanaman ideologinya yang terselip dalam “pencitraan produk”, hingga konsumen bertekuk lutut untuk mau mengikuti ajakannya tanpa harus mengkritisinya. Inilah yang dikatakan oleh Jacques Ellul tentang propaganda, “suatu cara untuk mencapai kekuasaan dengan cara memanipulasi secara psikologis suatu kelompok atau massa, atau dengan cara menggunakan kekuatan ini dengan dukungan dari massa” (Marlin, 2002: 19).
Tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh ideologi iklan, lewat tayangan televisi yang dikemas dan dikonstruksi sedemikian rupa serta penyampaiannya begitu menarik dan atraktif, hingga masyarakat langsung percaya dan meyakini tentang keistimewaan dari produk yang ditawarkan. Dalam perancangannya, iklan televisi tak luput dari siklus trend yang berkembanmg dimasyarakat, para kreator iklan sering menangkap isu yang bergaung dan menjadi polemik di masyarakat, untuk kemudian diangkat menjadi suatu konsep dalam perancangannya. Iklan televisi dewasa ini telah menjadi produk komuditas baru yang mampu memenuhi keinginan para pemirsa dan tanpa disadari apa yang tervisualisasi di hadapan mata, adalah hasil penciptaan suatu realitas baru yang telah dikonstruksi ke dalam dunia maya itu, telah mengantarkan alam persepsi pemirsa mengisyaratkan bahwa realitas imajinatif tersebut seolah-olah apa yang mereka lihat adalah cerminan keaadaan yang sebenarnya. Persepsi inilah yang muncul dalam pikiran pemirsa, hingga masyarakat selaku target iklan, mau memakai produknya dan menghegemoni dalam kehidupan masyarakat luas melalui praktik-praktik ekonomi, sosial dan budaya kapitalisme yang mencerminkan budaya baru dalam lingkugan masyarakat kapitalis.
Kerjasama antara industri media televisi
dengan industri produk konsumsi, dalam segala situasi dan kondisi serta
dengan konteks beragam aspek itu, merupakan alat yang ampuh dalam
mempengaruhi konsumen atau masyarakat untuk mau mengikuti anjuran lewat
pesan-pesan yang terselubung dalam setiap produknya.
3. Pencitraan Pesan dalam Manipulasi Gambar Tayangan
Iklan televisi adalah salah satu dari bagian komunikasi massa, di mana sasaran yang dituju adalah bersifat heterogen. Masyarakat yang menjadi mangsanya telah mempunyai persepsi berlainan terhadap produk yang di tawarkan, hal ini dipengaruhi dari tingkat pendidikan serta pengalaman seseorang. Sebuah iklan televisi dapat mempengaruhi jiwa seseorang berpretensi terhadap sesuatu pengertian bahwa terdapat sesuatu hal yang tidak beres dengan diri seseorang, oleh karena itu setiap orang berusaha memenuhi kriteria-kriteria tertentu, untuk menutupi ketidak beresan tersebut. Berbagai macam usaha dilakukan guna mendapat sesuatu yang kurang dari dirinya hingga pada akhirnya nanti mendapatkan solusi, dan dapat tampil lebih percaya diri dalam lingkungan masyarakatnya.
Iklan televisi dinilai mampu menggiring pikiran pemirsa untuk mau mengikuti apa yang divisualisasikan dengan hebatnya, hingga seseorang terbius oleh pesan yang ada dibalik kemasan produk citraanya. Lihatlah seorang gadis karena keteknya bau menyengat ketika melakukan aktivitas, maka teman-temannya meninggalkannya, namun setelah memakai produk rexona yang dipakai oleh temen-temannya tadi, maka kepercayaan diri mulai muncul dan tanpa rasa takut dia menari dengan mengangkat tangan di hadapan temannya yang meninggalkannya tadi tanpa rasa ragu. Bagaimana kekuatan sebuah iklan televisi, dapat mempengaruhi para pemirsa tentang illustrasi yang ditontonnya lewat tayangan televisi. Tidak sedikit masyarakat yang percaya dengan produk produk citraan hasil rekonstruksi dari iklan televisi, hingga masyarakat mau membelinya demi semata-mata menaikkan citra dirinya, seperti dilakukan oleh para gadis-gadis melakukan hal yang sama di layar televisisi itu.
Memasuki Millenium ketiga, perkembangan teknologi telah merubah perdaban manusia menjadi luar biasa, terutama dunia informasi yang membuat komunikasi antar manusia semakin dekat dan keberadaan dunia makain mengecil terasa dalam genggaman tangan. Situasi ini menjelaskan, bahwa “Perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang di mana anggapan mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa” (Heidegge, 1999). Kenyataan ini menjawab bahwa teknologi informasi yang berkembang dengan pesatnya, dipakai sebagai alat atau sarana untuk menciptakan suatu kesan bahwa “dunia citraan” bukanlah suatu realitas kehidupan yang sebenarnya, namun dunia dalam angan-angan yang di hadirkan itu, sebagai bentuk realitas yang dicitrakan sebagai representatif dari realitas dunia sebenarnya. Dari sinilah media televisi yang berkaiatan erat dengan kehidupan masyarakat, turut mengekspose dan mengukuhkan citraan dari bentuk-bentuk illustrasi yang tervisualisasi ke dalam alam pikiran masyarakat, melalui program tayangannya itu. Suatu analogi pencitraan dari suatu produk kecantikan, bahwa untuk mempercantik diri, dapat divisualisasikan dengan mengandalkan kemampuan sebuah produk cream kecantikan bermerek “Pound” dapat menciptakan kulit wanita menjadi lebih putih dalam tempo 7 hari. Kategori teks dan makna media yang menjelaskan menjadi lebih putih dalam tempo sesingkat itu, merupakan upaya penerapan ideologi media dalam mengkonstruksi pesan secara persuasif, dibalik cerita atas penggunaan produk yang dicitrakan itu, telah membuat gadis-gadis remaja berramai-ramai menyebur supermarket guna membeli produk serupa seperti tayangan di televisi.
Kemajuan teknologi dalam penciptaan gambar yang begitu spektakuler dengan berbagai macam efek dalam visualisasinya itu, membuat kreatifitas para kreator iklan televisi semakin mudah untuk memproses segala ide kegilaannya, demi terwujudnya pencuci otakan para pemirsa untuk larut dan terbuai dalam tayangan mengikuti alur cerita yang telah didistorsi, hingga pada akhirnya pemirsa terjebak dalam rayuan, bujukan dan berakhir dengan tindakkan tanpa ada perlawanan. Maka dari itu, tidak heran apabila media televisi melalui iklan televisi, menayangkan berbagai macam “pencitraan” dari beragam produk yang saling bertempur dalam satu kepentingan, untuk melumpuhkan pikiran para pemirsa sebagai target audiensnya. Ribuan frame gambar dengan berbagai macam karakter artis yang berakting, mulai dari yang cantik, ganteng, gemuk, kerempeng, lucu, nyentrik sampai hal antik, dalam adegan ringan ataupun mengagumkan hingga orang berkata waaahhhh… Gillaaa !!!…, semuanya berseliweran dari menit ke menit perhari menyerbu alam pikiran pemirsa lewat lensa mata, kesemuanya itu muncul dalam waktu tak terduga di sela-sela asyiknya sedang menonton program acara televisi idolanya. Peristiwa itu terkadang membuat pemirsa menjadi jengkel dibuatnya, karena sangat mengganggu konsentrasi dalam menikmati salah satu program acara yang telah ditontonya, hingga tindakan pindah saluranpun dilakukan.
Bentuk apapun pencitraan oleh media televisi lewat tayangan iklan televisi itu, tidak semuanya benar, namun sebagian telah dipropagandakan oleh para pengiklan lewat produknya itu, merupakan suatu kepalsuan tersembunyi sebagai upaya dalam menciptakan pencitraan lewat kemasan produknya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Aliram Marxisme Frankfurt menjelaskan bahwa “kesadaran palsu” berdasar pada “Penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kekuasaan media” (Graeme Barton, 2008). Tanpa sadar apa yang kita ketahui tentang suatu kebenaran, adalah suatu angan-angan dan pandangan-pandangan serta daya imajinasi, antara ada dan tiada dalam melihat suatu kenyataan yang semu dan tersembunyi dalam realitas sosial masyarakat. Kesemuanya itu dapat diungkapkan betapa dahsyatnya pengaruh iklan televisi terhadap psikologi manusia, hingga mampu memiliki kekuatan mengkostruksi ruang suatu gambar “dunia maya” menjadi “dunia sebenarnya”, dalam suatu mitos yang diyakini dan dipakai menjadi pegangan hidup dalam mengikuti trend center yang berkembang di masyarakat. Dampak dari pencitraan ini telah melahirkan “gaya hidup” masyarakat modern sebagai bentuk hasil dari serangan ideologi media, hingga apa yang didapat dari pengaruh iklan televisi telah menjadi hegemoni budaya dalam masyarakat yang cenderung kearah konsumtif dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis.
Iklan televisi adalah salah satu dari bagian komunikasi massa, di mana sasaran yang dituju adalah bersifat heterogen. Masyarakat yang menjadi mangsanya telah mempunyai persepsi berlainan terhadap produk yang di tawarkan, hal ini dipengaruhi dari tingkat pendidikan serta pengalaman seseorang. Sebuah iklan televisi dapat mempengaruhi jiwa seseorang berpretensi terhadap sesuatu pengertian bahwa terdapat sesuatu hal yang tidak beres dengan diri seseorang, oleh karena itu setiap orang berusaha memenuhi kriteria-kriteria tertentu, untuk menutupi ketidak beresan tersebut. Berbagai macam usaha dilakukan guna mendapat sesuatu yang kurang dari dirinya hingga pada akhirnya nanti mendapatkan solusi, dan dapat tampil lebih percaya diri dalam lingkungan masyarakatnya.
Iklan televisi dinilai mampu menggiring pikiran pemirsa untuk mau mengikuti apa yang divisualisasikan dengan hebatnya, hingga seseorang terbius oleh pesan yang ada dibalik kemasan produk citraanya. Lihatlah seorang gadis karena keteknya bau menyengat ketika melakukan aktivitas, maka teman-temannya meninggalkannya, namun setelah memakai produk rexona yang dipakai oleh temen-temannya tadi, maka kepercayaan diri mulai muncul dan tanpa rasa takut dia menari dengan mengangkat tangan di hadapan temannya yang meninggalkannya tadi tanpa rasa ragu. Bagaimana kekuatan sebuah iklan televisi, dapat mempengaruhi para pemirsa tentang illustrasi yang ditontonnya lewat tayangan televisi. Tidak sedikit masyarakat yang percaya dengan produk produk citraan hasil rekonstruksi dari iklan televisi, hingga masyarakat mau membelinya demi semata-mata menaikkan citra dirinya, seperti dilakukan oleh para gadis-gadis melakukan hal yang sama di layar televisisi itu.
Memasuki Millenium ketiga, perkembangan teknologi telah merubah perdaban manusia menjadi luar biasa, terutama dunia informasi yang membuat komunikasi antar manusia semakin dekat dan keberadaan dunia makain mengecil terasa dalam genggaman tangan. Situasi ini menjelaskan, bahwa “Perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang di mana anggapan mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa” (Heidegge, 1999). Kenyataan ini menjawab bahwa teknologi informasi yang berkembang dengan pesatnya, dipakai sebagai alat atau sarana untuk menciptakan suatu kesan bahwa “dunia citraan” bukanlah suatu realitas kehidupan yang sebenarnya, namun dunia dalam angan-angan yang di hadirkan itu, sebagai bentuk realitas yang dicitrakan sebagai representatif dari realitas dunia sebenarnya. Dari sinilah media televisi yang berkaiatan erat dengan kehidupan masyarakat, turut mengekspose dan mengukuhkan citraan dari bentuk-bentuk illustrasi yang tervisualisasi ke dalam alam pikiran masyarakat, melalui program tayangannya itu. Suatu analogi pencitraan dari suatu produk kecantikan, bahwa untuk mempercantik diri, dapat divisualisasikan dengan mengandalkan kemampuan sebuah produk cream kecantikan bermerek “Pound” dapat menciptakan kulit wanita menjadi lebih putih dalam tempo 7 hari. Kategori teks dan makna media yang menjelaskan menjadi lebih putih dalam tempo sesingkat itu, merupakan upaya penerapan ideologi media dalam mengkonstruksi pesan secara persuasif, dibalik cerita atas penggunaan produk yang dicitrakan itu, telah membuat gadis-gadis remaja berramai-ramai menyebur supermarket guna membeli produk serupa seperti tayangan di televisi.
Kemajuan teknologi dalam penciptaan gambar yang begitu spektakuler dengan berbagai macam efek dalam visualisasinya itu, membuat kreatifitas para kreator iklan televisi semakin mudah untuk memproses segala ide kegilaannya, demi terwujudnya pencuci otakan para pemirsa untuk larut dan terbuai dalam tayangan mengikuti alur cerita yang telah didistorsi, hingga pada akhirnya pemirsa terjebak dalam rayuan, bujukan dan berakhir dengan tindakkan tanpa ada perlawanan. Maka dari itu, tidak heran apabila media televisi melalui iklan televisi, menayangkan berbagai macam “pencitraan” dari beragam produk yang saling bertempur dalam satu kepentingan, untuk melumpuhkan pikiran para pemirsa sebagai target audiensnya. Ribuan frame gambar dengan berbagai macam karakter artis yang berakting, mulai dari yang cantik, ganteng, gemuk, kerempeng, lucu, nyentrik sampai hal antik, dalam adegan ringan ataupun mengagumkan hingga orang berkata waaahhhh… Gillaaa !!!…, semuanya berseliweran dari menit ke menit perhari menyerbu alam pikiran pemirsa lewat lensa mata, kesemuanya itu muncul dalam waktu tak terduga di sela-sela asyiknya sedang menonton program acara televisi idolanya. Peristiwa itu terkadang membuat pemirsa menjadi jengkel dibuatnya, karena sangat mengganggu konsentrasi dalam menikmati salah satu program acara yang telah ditontonya, hingga tindakan pindah saluranpun dilakukan.
Bentuk apapun pencitraan oleh media televisi lewat tayangan iklan televisi itu, tidak semuanya benar, namun sebagian telah dipropagandakan oleh para pengiklan lewat produknya itu, merupakan suatu kepalsuan tersembunyi sebagai upaya dalam menciptakan pencitraan lewat kemasan produknya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Aliram Marxisme Frankfurt menjelaskan bahwa “kesadaran palsu” berdasar pada “Penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kekuasaan media” (Graeme Barton, 2008). Tanpa sadar apa yang kita ketahui tentang suatu kebenaran, adalah suatu angan-angan dan pandangan-pandangan serta daya imajinasi, antara ada dan tiada dalam melihat suatu kenyataan yang semu dan tersembunyi dalam realitas sosial masyarakat. Kesemuanya itu dapat diungkapkan betapa dahsyatnya pengaruh iklan televisi terhadap psikologi manusia, hingga mampu memiliki kekuatan mengkostruksi ruang suatu gambar “dunia maya” menjadi “dunia sebenarnya”, dalam suatu mitos yang diyakini dan dipakai menjadi pegangan hidup dalam mengikuti trend center yang berkembang di masyarakat. Dampak dari pencitraan ini telah melahirkan “gaya hidup” masyarakat modern sebagai bentuk hasil dari serangan ideologi media, hingga apa yang didapat dari pengaruh iklan televisi telah menjadi hegemoni budaya dalam masyarakat yang cenderung kearah konsumtif dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis.
Dibalik pencitraan iklan televisi yang
secara gencar menyerang pikiran kita, hendaknya diwaspadai misi dibalik
pesan dalam kemasan produknya. Karena sebuah “Iklan dalam implementasi
di lapangan, merupakan senjata kapitalisme memiliki dua mata pisau dalam
menjalankan misinya, yaitu logika pelepasan nafsu dan logika kecepatan,
kedua-duanya berperan dalam melenyapkan sosial yang ada” (Piliang,
1998). Kenyataan ini mengatakan, bila suatu produk kapitalis menyerang
suatu status sosial masyarakat tertentu, maka budaya sosial lama semakin
tergeser dengan budaya baru yang ditawarkan, karena pada dasarnya
ketika kemauan atau nafsu suatu manusia timbul dan memuncak di kepala,
maka secara cepat itu pula reaksi mereka akan memenuhi keinginannya itu.
Hal inilah yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan, bahwa iklan
televisi yang membawa produk dan pencitaannya sebagai cerminan
praktik-praktik sistem kapitalis, akan memusnahkan secara perlahan
budaya masyarakat sebelumnya yang telah terbentuk sekian lama, selama
bertahun-tahun dimaknai dan dipahami serta dipakai menjadi pegangan
hidup dalam, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Karena pada
dasarnya prinsip dari iklan adalah menyampaikan produk baru sambil
membawa faham serta budaya baru pula, sebagai pencerminan dari penemuan
teknologi hingga menciptakan peradaban baru dan lama kelamaan akan
berkembang di masyarakat.
Begitu dahsyatnya pengaruh iklan
televisi hingga masyarakat mau mengikuti anjuran melalui pencitraan
karakter gamabar spektakuler hasil imajinasi dalam memanipulasi gambar
di balik produknya.
4. Gaya hidup dan Penciptaan Kelas-Kelas Sosial
Segala macam tayangan iklan televisi akan berdampak luas terhadap perilaku masyarakat. Betapa tidak, kekuatan iklan televisi dapat menggiring pikiran pemirsa untuk mau mengikuti anjuran, himbauan, rayuan, bujukan dalam teks dan makna media melalui suatu kemasan pencitraan “dunia maya” yang telah dikonstruksi secara spektakuler melalui virtual image. Hasil karya iklan televisi ini merupakan sebuah perwujudan dari menyatunya kreatifitas dengan teknologi modern, hingga dapat mencuci otak dan melumpuhkan pikiran pemirsa, untuk mau mengikuti dan percaya dengan pesan yang tertanam dalam pencitraan produk yang ditawarkan. Tidak sedikit korban dari bujukan iklan tevisi yang bisa mendarat dalam pikiran pemirsa hingga mereka rela merogoh kocek untuk membeli produknya, demi tuntutan mengikuti “gaya hidup” yang lagi ngetrend di tengah masyarakat, sebagai hasil pengaruh lansiran dari iklan televisi. Inilah yang sudah menjadi suatu resiko dalam memasuki arus globalisasi, dengan semakin kencangnya informasi dari seluruh jagat telah masuk dalam relung-relung pikiran kita dengan terkoneksi situs sistem teknologi informasi dan jaringan media secara on line itu. Tanpa sadar praktik-praktik kapitalisme menjadi suatu budaya baru sebagai “gaya hidup” modern yang mengikat kita ke arah konsumeristik. Sadar atau tidak sadar bahwa segala informasi yang tertanam dalam pikiran kita, telah memaksa kita untuk mengikuti suatu “trend” yang berkembang di masyarakat, sebagai hasil dari lansirnya Global Kapitalism yang mengusung potret gaya hidup dunia melalui citraan produk-produk, setiap hari berseliweran di hadapan kita, telah memancing kita untuk memilikinya.
Budaya kapitalisme yang mendorong prinsip hidup dengan berbagai macam cara dan strategi agar produknya laku dari target sasaran, melalui berbagai macam media dapat sesegera mungkin dikonsumsi oleh konsumen. Apa yang dilansir oleh iklan televisi melalui media elektronik yang hampir tiap hari berdampingan dalam kehidupan, telah mengantar kita memasuki suatu gaya hidup modern dalam atmosfir masyarakat kapitalis. Realitas kehidupan merekam dengan kejernihan lensa berpikir, bahwa apa yang selama ini kita lakukan mengarungi hidup, dihiasi dengan beragam produk kapitalis sebagai suatu tuntutan hidup yang diidealkan oleh masyarakat dunia. Berbagai Brand tingkat tinggi seperti Levi’s, Lea, Arrow, Polo, Seiko, Omega, Rolex, Parker, Nike, Adidas, Reebok, Ferari, Mercy, BMW serta merek-merek lainnya merupakan bagian dari kehidupan para esekutif, sebagai cerminan bentuk gaya hidup tinggi dan hal ini sudah menjadi konsekuensinya dari kelas-kelas dominan yang mempunyai kekuasaan sebagai pencitraan terhadap identitas diri mereka.
“Citra diri (Self Image) dapat diterjemahkan sebagai bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, atau mungkin diartikan sebagai bagaimana persepsi orang lain memandang seseorang” (Susanto. AB, 2001). Berdasarkan dari suatu pendapat yang mengutarakan bagaimana cara orang lain memandang tentang diri seseorang itu, maka orang berusaha mempercantik dirinya dengan sesuatu yang bernilai agar orang lain yang melihatnya, mencitrakanya pada posisi kelas tersendiri. Seseorang memiliki frame of reference jika produk yang dipakainya mempunyai nilai tersendiri hingga dapat tercermin dalam bertingkah laku. Dari sinilah tertanam niatan bagaimana caranya seseorang membentuk “penciptaan image” mereka di mata orang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas hidup seperti Seorang Direktur perusahaan kelas tinggi, katakanlah Si Badrun Bin Somat yang penampilannya begitu menawan, berdasi serta jas warna hitam dilapisi aroma parfum yang wangi dengan handphone Black Magic ditangan, nampak keluar dari pintu mobilnya berlogo bintang tiga itu, berjalan menuju pintu masuk kantor di kawasan Jalan Jendral Sudirman. Bandingkan dengan orang pada perusahaan yang sama, Si Sukron Bin Kadut sebagai Manager Marketing berpakian lengan panjang serta dasi warna hijau bermotif daun pepaya, keluar dari mobil berlogo seekor kijang itu yang telah di parkir di halaman kantor dan Markonah binti Sukarni sebagai staff dengan pakaian biasa saja, telah turun dari metro mini berlari kencang dan hampir tersandung kulit durian karena diburu waktu. Keadaan ini akan semakin ekstrim bila dibandingkan dengan Wagiman bin codot yang berkaos oblong bergambar salah satu kandidat Pilkada dan celana pendek dengan kaki berhiaskan sandal jepit kusam serta tangkai cangkul yang bersandar di atas pundaknya itu, telah berjalan sambil menghisap rokok lokal cap jengkol menuju kebonnya. Analogi itu hanya sebagian dari realitas kehidupan yang ada di negeri ini, keadaan ini akan menjelaskan, begitu banyaknya peristiwa tersebut menimpah di negeri ini yang katanya menjunjung tinggi sikap gotong royong dan sifat tolong menolong itu. Begitu dasyatnya pengaruh “gaya hidup” terhadap psikologi masyarakat negeri ini, sehingga dapat menciptakan kelas-kelas status sosial dan membedakan tentang kedudukan seseorang di masyarakat. Semua ini merupakan hasil dari produk kapitalisme yang menyerang negeri ini dan berkembang cenderung tanpa arah pengendalian berarti, hingga melahirkan insan-insan berjiwa konsumtif dan hedonis. Keadaan ini akan terus terjadi dari waktu ke waktu selama globalisasi tak dapat terbendung dan para penghuni negeri ini tak dibentengi kebudayaan setempat yang kuat.
Segala macam tayangan iklan televisi akan berdampak luas terhadap perilaku masyarakat. Betapa tidak, kekuatan iklan televisi dapat menggiring pikiran pemirsa untuk mau mengikuti anjuran, himbauan, rayuan, bujukan dalam teks dan makna media melalui suatu kemasan pencitraan “dunia maya” yang telah dikonstruksi secara spektakuler melalui virtual image. Hasil karya iklan televisi ini merupakan sebuah perwujudan dari menyatunya kreatifitas dengan teknologi modern, hingga dapat mencuci otak dan melumpuhkan pikiran pemirsa, untuk mau mengikuti dan percaya dengan pesan yang tertanam dalam pencitraan produk yang ditawarkan. Tidak sedikit korban dari bujukan iklan tevisi yang bisa mendarat dalam pikiran pemirsa hingga mereka rela merogoh kocek untuk membeli produknya, demi tuntutan mengikuti “gaya hidup” yang lagi ngetrend di tengah masyarakat, sebagai hasil pengaruh lansiran dari iklan televisi. Inilah yang sudah menjadi suatu resiko dalam memasuki arus globalisasi, dengan semakin kencangnya informasi dari seluruh jagat telah masuk dalam relung-relung pikiran kita dengan terkoneksi situs sistem teknologi informasi dan jaringan media secara on line itu. Tanpa sadar praktik-praktik kapitalisme menjadi suatu budaya baru sebagai “gaya hidup” modern yang mengikat kita ke arah konsumeristik. Sadar atau tidak sadar bahwa segala informasi yang tertanam dalam pikiran kita, telah memaksa kita untuk mengikuti suatu “trend” yang berkembang di masyarakat, sebagai hasil dari lansirnya Global Kapitalism yang mengusung potret gaya hidup dunia melalui citraan produk-produk, setiap hari berseliweran di hadapan kita, telah memancing kita untuk memilikinya.
Budaya kapitalisme yang mendorong prinsip hidup dengan berbagai macam cara dan strategi agar produknya laku dari target sasaran, melalui berbagai macam media dapat sesegera mungkin dikonsumsi oleh konsumen. Apa yang dilansir oleh iklan televisi melalui media elektronik yang hampir tiap hari berdampingan dalam kehidupan, telah mengantar kita memasuki suatu gaya hidup modern dalam atmosfir masyarakat kapitalis. Realitas kehidupan merekam dengan kejernihan lensa berpikir, bahwa apa yang selama ini kita lakukan mengarungi hidup, dihiasi dengan beragam produk kapitalis sebagai suatu tuntutan hidup yang diidealkan oleh masyarakat dunia. Berbagai Brand tingkat tinggi seperti Levi’s, Lea, Arrow, Polo, Seiko, Omega, Rolex, Parker, Nike, Adidas, Reebok, Ferari, Mercy, BMW serta merek-merek lainnya merupakan bagian dari kehidupan para esekutif, sebagai cerminan bentuk gaya hidup tinggi dan hal ini sudah menjadi konsekuensinya dari kelas-kelas dominan yang mempunyai kekuasaan sebagai pencitraan terhadap identitas diri mereka.
“Citra diri (Self Image) dapat diterjemahkan sebagai bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, atau mungkin diartikan sebagai bagaimana persepsi orang lain memandang seseorang” (Susanto. AB, 2001). Berdasarkan dari suatu pendapat yang mengutarakan bagaimana cara orang lain memandang tentang diri seseorang itu, maka orang berusaha mempercantik dirinya dengan sesuatu yang bernilai agar orang lain yang melihatnya, mencitrakanya pada posisi kelas tersendiri. Seseorang memiliki frame of reference jika produk yang dipakainya mempunyai nilai tersendiri hingga dapat tercermin dalam bertingkah laku. Dari sinilah tertanam niatan bagaimana caranya seseorang membentuk “penciptaan image” mereka di mata orang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas hidup seperti Seorang Direktur perusahaan kelas tinggi, katakanlah Si Badrun Bin Somat yang penampilannya begitu menawan, berdasi serta jas warna hitam dilapisi aroma parfum yang wangi dengan handphone Black Magic ditangan, nampak keluar dari pintu mobilnya berlogo bintang tiga itu, berjalan menuju pintu masuk kantor di kawasan Jalan Jendral Sudirman. Bandingkan dengan orang pada perusahaan yang sama, Si Sukron Bin Kadut sebagai Manager Marketing berpakian lengan panjang serta dasi warna hijau bermotif daun pepaya, keluar dari mobil berlogo seekor kijang itu yang telah di parkir di halaman kantor dan Markonah binti Sukarni sebagai staff dengan pakaian biasa saja, telah turun dari metro mini berlari kencang dan hampir tersandung kulit durian karena diburu waktu. Keadaan ini akan semakin ekstrim bila dibandingkan dengan Wagiman bin codot yang berkaos oblong bergambar salah satu kandidat Pilkada dan celana pendek dengan kaki berhiaskan sandal jepit kusam serta tangkai cangkul yang bersandar di atas pundaknya itu, telah berjalan sambil menghisap rokok lokal cap jengkol menuju kebonnya. Analogi itu hanya sebagian dari realitas kehidupan yang ada di negeri ini, keadaan ini akan menjelaskan, begitu banyaknya peristiwa tersebut menimpah di negeri ini yang katanya menjunjung tinggi sikap gotong royong dan sifat tolong menolong itu. Begitu dasyatnya pengaruh “gaya hidup” terhadap psikologi masyarakat negeri ini, sehingga dapat menciptakan kelas-kelas status sosial dan membedakan tentang kedudukan seseorang di masyarakat. Semua ini merupakan hasil dari produk kapitalisme yang menyerang negeri ini dan berkembang cenderung tanpa arah pengendalian berarti, hingga melahirkan insan-insan berjiwa konsumtif dan hedonis. Keadaan ini akan terus terjadi dari waktu ke waktu selama globalisasi tak dapat terbendung dan para penghuni negeri ini tak dibentengi kebudayaan setempat yang kuat.
Lewat pencitraan yang terselip dalam
setiap produknya, pengaruh iklan televisi dapat menciptakan kelas-kelas
dalam status sosial masyarakat, hasil lansiran dari berkembangnya budaya
populer di tengah masyarakat luas.
Penutup
Dari pemaparan yang telah dibahas dengan beragam sudut pandang, maka dapat ditarik benang merahnya. Televisi telah menjadi bagian dari suatu kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk yang paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat selaku target audiensnya, untuk masuk dalam jebakan iklan hingga pada akhirnya nanti kita rela merogoh kantong bahkan sampai bolong plooong… tanpa perlawanan berarti, hanya semata-mata untuk mengikuti apa yang ditawarkan melalui rangkaian gambar yang fantastik itu sebagai pencitraan dari produk kebanggaannya.
Iklan televisi yang dilahirkan dan dibesarkan oleh industri media televisi dengan segala macam ideologi yang banyak mencerminkan budaya dan faham kapitalis pada setiap pesan yang terselip dalam produk citraanya, akan berdampak pada penciptaan “gaya hidup” di masyrakat yang cenderung berjiwa konsumtif dan hedonis. Timbulnya efek negatif pada perilaku insan negeri ini disebabkan dari pengaruh iklan televisi, di mana dalam penayangannya merupakan cerminan budaya baru yang lagi ngetrend di lingkungan masyarakat, hasil lansiran Global Kapitalism yang terbawa oleh arus globalisasi. Kalau hal ini tidak diantisipasi dengan baik, maka dikhawatirkan akan terus tumbuh subur, terutama di kalangan remaja yang cenderung berpola hidup meniru dari tayangan televisi. Dan kenyataan ini menimbulkan suatu pernyataan kontradiktif terhadap budaya Indonesia yang terkenal menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti, sifat sabar dan norma kesantunan yang kita banggakan selama negeri ini didirikan. Bila hal ini terjadi secara terus penerus tanpa adanya suatu apresiasi secara intensif di kalangan masyarakat, maka dikhawatirkan budaya keluhuran kita akan tergilas oleh budaya kapitalis yang menjajikan masyarakat bersikap konsumtif dan hedonis serta diwarnai keglamouran hidup, senang berfoya-foya tanpa mau belajar serius hingga menghasilkan generasi goblok…!!!.
Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita semua, termasuk kalangan berpendidikan tinggi baik dilingkungan pemerintahan, institusi sosisl, institusi pendidikan maupun masyarakat luas untuk senan tiasa saling mengingatkan, memberikan penerangan dan pencerahan kepada masyarakat, bahwa segala macam yang tersembunyi di balik iklan televisi itu, tidak selamanya benar. Bahkan ada teks serta makna media telah direkonstruksi dan gambar-gambar fantastik hasil manipulasi hingga dapat menggiring persepsi pemirsa ke arah yang bisa menyesatkan. Persepsi sangat bahaya sekali, bila tayangan tersebut dilihat oleh orang-orang yang tak dibekali dengan daya nalar tinggi untuk memahami makna-maknnya dengan benar.
Diperlukan suatu ketegasan dari pihak terkait, untuk mengapresiasi tentang pengaplikasian kode etik periklanan dan jurnalistik dalam perancangan program acara televisi, karena perencanaan yang tak berkonsep dengan matang akan menimbulkan permasalahan di masyarakat. Pemerintah lewat Kementrian komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia, Institusi Masyarakat Periklanan Indonesia, Lembaga Konsumen Indonesia hendaknya memberikan sangsi yang keras kepada stasiun televisi dan pemasang iklannya yang ternyata isi pesan dapat merusak moralitas bangsa. Karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam penyiaran yang telah disepakati bersama. Ketegasan itu mutlak diperlukan demi mencegah dampak dari tayangan yang membahayakan generasi bangsa ini atau paling tidak meminimalisir intensitasnya.
Dari pemaparan yang telah dibahas dengan beragam sudut pandang, maka dapat ditarik benang merahnya. Televisi telah menjadi bagian dari suatu kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk yang paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat selaku target audiensnya, untuk masuk dalam jebakan iklan hingga pada akhirnya nanti kita rela merogoh kantong bahkan sampai bolong plooong… tanpa perlawanan berarti, hanya semata-mata untuk mengikuti apa yang ditawarkan melalui rangkaian gambar yang fantastik itu sebagai pencitraan dari produk kebanggaannya.
Iklan televisi yang dilahirkan dan dibesarkan oleh industri media televisi dengan segala macam ideologi yang banyak mencerminkan budaya dan faham kapitalis pada setiap pesan yang terselip dalam produk citraanya, akan berdampak pada penciptaan “gaya hidup” di masyrakat yang cenderung berjiwa konsumtif dan hedonis. Timbulnya efek negatif pada perilaku insan negeri ini disebabkan dari pengaruh iklan televisi, di mana dalam penayangannya merupakan cerminan budaya baru yang lagi ngetrend di lingkungan masyarakat, hasil lansiran Global Kapitalism yang terbawa oleh arus globalisasi. Kalau hal ini tidak diantisipasi dengan baik, maka dikhawatirkan akan terus tumbuh subur, terutama di kalangan remaja yang cenderung berpola hidup meniru dari tayangan televisi. Dan kenyataan ini menimbulkan suatu pernyataan kontradiktif terhadap budaya Indonesia yang terkenal menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti, sifat sabar dan norma kesantunan yang kita banggakan selama negeri ini didirikan. Bila hal ini terjadi secara terus penerus tanpa adanya suatu apresiasi secara intensif di kalangan masyarakat, maka dikhawatirkan budaya keluhuran kita akan tergilas oleh budaya kapitalis yang menjajikan masyarakat bersikap konsumtif dan hedonis serta diwarnai keglamouran hidup, senang berfoya-foya tanpa mau belajar serius hingga menghasilkan generasi goblok…!!!.
Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita semua, termasuk kalangan berpendidikan tinggi baik dilingkungan pemerintahan, institusi sosisl, institusi pendidikan maupun masyarakat luas untuk senan tiasa saling mengingatkan, memberikan penerangan dan pencerahan kepada masyarakat, bahwa segala macam yang tersembunyi di balik iklan televisi itu, tidak selamanya benar. Bahkan ada teks serta makna media telah direkonstruksi dan gambar-gambar fantastik hasil manipulasi hingga dapat menggiring persepsi pemirsa ke arah yang bisa menyesatkan. Persepsi sangat bahaya sekali, bila tayangan tersebut dilihat oleh orang-orang yang tak dibekali dengan daya nalar tinggi untuk memahami makna-maknnya dengan benar.
Diperlukan suatu ketegasan dari pihak terkait, untuk mengapresiasi tentang pengaplikasian kode etik periklanan dan jurnalistik dalam perancangan program acara televisi, karena perencanaan yang tak berkonsep dengan matang akan menimbulkan permasalahan di masyarakat. Pemerintah lewat Kementrian komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia, Institusi Masyarakat Periklanan Indonesia, Lembaga Konsumen Indonesia hendaknya memberikan sangsi yang keras kepada stasiun televisi dan pemasang iklannya yang ternyata isi pesan dapat merusak moralitas bangsa. Karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam penyiaran yang telah disepakati bersama. Ketegasan itu mutlak diperlukan demi mencegah dampak dari tayangan yang membahayakan generasi bangsa ini atau paling tidak meminimalisir intensitasnya.
Daftar Pustaka :
Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Ralita Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: MU:3.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Macdonell, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus: Kematian Strukturalisme & Kelahiran Post Strukturalisme Dari Althusser hingga Foucault. Penterjemah: Eko Wijayanto. Jakarta: Teraju.
Yadianto. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M25.
Suyanto, M. 2005. Strategi Perancangan Iklan Televisi Perusahaan Top Dunia. Yogyakarta: Andi.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Peradaban. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Piliang, Yasraf. A. 2001. Hipersimiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra Sadar.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion. Canada: Broadview Press
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books
Gunawan, Iwan. 2010. Propaganda, Wawasan Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya. Jakarta : Institut Kesenian Jakarta.
Djoko Damono, Sapardi. 2009. Kebudayaan (Populer) disekitar Kita. Jakarta : Kompleks Dosen UI.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion. Canada: Broadview Press.
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Ralita Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: MU:3.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Macdonell, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus: Kematian Strukturalisme & Kelahiran Post Strukturalisme Dari Althusser hingga Foucault. Penterjemah: Eko Wijayanto. Jakarta: Teraju.
Yadianto. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M25.
Suyanto, M. 2005. Strategi Perancangan Iklan Televisi Perusahaan Top Dunia. Yogyakarta: Andi.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Peradaban. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Piliang, Yasraf. A. 2001. Hipersimiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra Sadar.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion. Canada: Broadview Press
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books
Gunawan, Iwan. 2010. Propaganda, Wawasan Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya. Jakarta : Institut Kesenian Jakarta.
Djoko Damono, Sapardi. 2009. Kebudayaan (Populer) disekitar Kita. Jakarta : Kompleks Dosen UI.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion. Canada: Broadview Press.
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar